Selasa, 28 April 2009

belum ada judul

Aku ingin tidur.

Hanya itu yang ada di pikiran ku sekarang. Sejak sejam yang lalu kakak ku terus berceloteh soal gebetan baru nya yang selama seminggu ini-tiba-tiba-jadi bahan obrolan kita. Tidak. Dia, maksud ku. Hanya kakak ku yang bercerita. Catat itu. Aku hanya jadi pendengar. Entah soal ke tampanan nya lah-yang kata nya mirip Brad Pitt-atau kejadian-kejadian kecil saat tadi bertemu si Brad Pitt itu.

Mata ku sudah tidak kuat lagi.

Sekarang sudah tertutup semua nya. Aku akan tidur. Maaf kak.

“Anya!”

Oh, tidak. Mata ku yang sudah lengket kini terbuka dengan paksa. Tidak bisakah dia menunda cerita nya sampai besok pagi?

“Kok malah tidur sih? Cerita kakak ngebosenin ya?” wajah kak Diza memelas menatap ku. Ya kak, aku bosan.

“Enggak. Tapi aku udah ngantuk banget nih kak. Gara-gara tadi aku les sampai sore. Besok lagi deh cerita nya,” kata ku sambil mengambil posisi tidur. Terdengar helaan napas kak Diza. Mungkin dia berniat menceritakan seluruh waktu yang dia habiskan hari ini bersama Bagas-gebetannya itu. Yang benar saja. Cerita nya itu ga penting semua. Rata-rata setiap hari hampir sama. Hanya mungkin sepatu yang Bagas pakai berbeda-beda. Ya Tuhan. Sampai model sepatu nya pun ia perhatikan. Aku bukannya tidak mengerti orang yang kasmaran. Aku juga pernah kasmaran. Tapi setidaknya pikirkan juga orang yang dia ajak bicara. Kalau dia ingin pendengar nya terus mendengarkan nya selama berjam-jam, kenapa dia tidak cerita pada tembok atau boneka saja?

“Anya, bangun. Kamu hampir telat ke sekolah!” sayup-sayup terdengar suara kak Diza memanggil ku. Pipi ku ditepuk-tepuk. Aku ngolet. Kini aku bisa melihat wajah kakak ku. Dia sudah berpakaian rapi dangan rambut penuh roll. Melihat ku sudah bangun, dia berpaling ke cermin.

“Udah setengah tujuh. Emang nya sekolah libur?” Tanya kak Diza tanpa berpaling dari cermin. Mendengar angka setengah tujuh aku melompat bangun. Mata ku tertumbuk pada jarum jam yang menunjukkan pukul setengah tujuh.

“Aduh! Kok baru dibangunin sih? Sekarang kan pelajarannya si Angker!” umpat ku sambil berusaha mengambil apapun yang ada didekat ku.

“Handuk, mana! Handuk!” teriak ku sambil membuka tumpukan pakaian-pakaian kotor. Sekarang aku baru menyesal kenapa tidak mendengar kata-kata ibu agar selalu merapikan kamar. Kak Diza mengaduh ketika baju kotor-yang ku lempar sembarangan-bersarang di rambut ikal nya. Saat menemukan handukku, aku langsung berlari masuk kamar mandi. Samar-samar ku dengar kak Diza berkata hari ini dia akan di jemput gebetannya itu. Aku mengumpat. Hilang lagi kesempatan ku melihat wajah Brad Pitt versi Indonesia.

“Kakak udah berangkat bu?” Tanya ku sambil mengikat sepatu. Aku mengumpat saat tali sepatu tergelincir beberapa kali dari tangan ku. Ibu yang melihat nya jadi berceramah soal terburu-buru itu tidak baik. Bla, bla, bla.

Hooaaamh….

“Hati-hati. Jangan buru-buru dijalan.”

“Iya bu. Maka nya buru-buru nya di sini. Biar ga buru-buru di jalan,” sahut ku malas. Setiap pagi itu saja yang di bicarakannya. Aku melirik jam dinding di ruang tamu sebelum berangkat. Jam tujuh tepat. Masih sempat. Semoga saja angker terlambat hari ini. Oh, apa aku sudah gila atau bagaimana sih? Aku tau itu tidak mungkin. Dia-tidak-pernah-terlambat. Kecuali penyakit parah nya kambuh dan benar-benar tidak bisa bergerak. Atau guru-guru rapat.

Guru-guru rapat.

Haaah…! Untung saja. Tau begini tadi tidak usah ngebut-ngebutan dijalan. Gara-gara itu, anjing sialan yang hampir kutabrak tadi malah mengejar ku. Untung saja aku naik motor. Kalau tidak, mati aku.

“Rambut mu kenapa tuh? Kena badai di jalan?” July, -teman segeng ku yang duduk di bangku belakang-meledekku. Aku cuma nyengir sambil menyisir rambut dengan jari. Kalau aku cerita bagian di kejar anjing nya, dia pasti tertawa sampai sakit perut. Teman-teman ku paling suka menakut-nakuti ku dengan anjing.

“Kantin yuk.” Ajakku.

“Entar deh. Tunggu Wulan sama Bhebi dulu. Entar di katain ga SK lagi.” July beralasan. Bhebi dan Wulan adalah dua teman geng ku selain July. Aku mengangguk. July sibuk menyisir rambut nya yang direbonding setahun lalu. Kini beberapa helai rambut nya sudah kembali ke bentuk asli.

Sepuluh menit berlalu.

Aku tau, menunggu Wulan dan Bhebi sama saja dengan menunggu bel masuk. Mereka kalau belum bel, tidak akan muncul di kelas. Jadi aku ikut menyibukkan diri. Sisiran.

-teet-

Bel masuk. Sebentar lagi pasti dua makhluk dari planet karet itu akan tergopoh-gopoh masuk kelas. Suara derap langkah. Itu pasti mereka. Kepala mereka muncul di ujung pintu. Nah, kan. Melihat ruangan kelas tidak ada guru mereka bernapas lega melangkah masuk kelas.

“Lama amat sih! Aku tuh udah kelaperan nunggu kalian dateng!” sembur ku.

“Ini nih. Miss lelet, lama banget jemput nya! Padahal aku udah dandan cantik-cantik, gara-gara nunggu dia, jadi luntur deh kecantikan ku.” Bhebi Meliuk-liukkan tubuh nya saat berkata ‘cantik-cantik’. Aku dan July ngakak. Kambuh deh penyakit nya. Wulan yang di tuduh, mengajukan protes.

“Hei, Bhebi cantik! Tadi kan aku udah bilang, motor nya masih di pake!”

“Ya, tetep aja. Gara-gara kamu kita terlambat. Untung si Angker belum dateng,” balas Bhebi. Wulan hendak menyahut lagi, tapi July menyela.

“Aduh, udah deh. Apa sih yang kalian ributin? Guru nya pada rapat tuh! Mau ribut sampai kapan?” mendengar berita baik itu, mata Bhebi dan Wulan melebar.

“Pantesan. Kelas lain juga pada keliaran tuh di luar,” sambung Bhebi yang langsung ngaca. Tanda dia akan keluar kelas.

“Keliaran, emang kucing!” sahut Wulan. Keliahatannya dia masih sebal di salahkan. Mereka ini mau berdebat sampai kapan sih?

“Aduh, udah! Mulai lagi deh! Yuk ke kantin. Aku udah laper,” sekarang mereka langsung mengiyakan. Tanpa berdebat.

Aku makan dalam diam. Memang, kalau sudah laper, ga bisa di ganggu gugat. July sibuk bersms-an dengan-entah benar atau tidak-gebetannya. Dia memang jarang makan di sekolah. Dia lebih suka makan dirumah sebelum sekolah dan sepulang sekolah. Kita semua sering meledeki nya sedang diet. Yang diledekin cuma ketawa-ketawa aja. Bhebi sibuk dengan makanan nya. Melihat cara makannya yang aneh, aku jadi tidak bisa menahan tawa. Dia ini paling lucu tingkah nya. Energik. Over. Aneh. Pokok nya ga bisa di gambarin deh. Kalau ngeliat dia, jadi gatal pingin ngerjain.

“Bi, ada cowok ganteng tuh!” sahut ku tiba-tiba. Dia langsung mendongak dan merapikan rambut dalam satu gerakan. July dan Wulan menahan tawa. Bhebi menoleh dengan gerakan lambat-pura-pura polos- sambil memasang wajah lugu nya. Setelah sadar tidak ada makhluk yang bernama cowok ganteng, dia menatap ku sinis.

“Mana cowok ganteng nya?” kata nya sebal.

“Udah ngacir, takut di gebet sama kamu kali,” sahut July asal.

Wulan tertawa. Sampai nasi dalam mulut nya meluncur ke meja. Aku dan July bergidik.

“Atau bisa juga ilfill sama kamu, Lan,” tambah July. Kali ini Bhebi yang tertawa.

Pulang sekolah kami kerumah Wulan.

Aku lupa bilang. Kami paling suka kerumah Wulan. Karna kakak nya-Revand-super ganteng. Dan aku sedang kasmaran dengan nya. Nah kan, aku tau arti kasmaran, tapi aku tidak seperti Kak Diza. Mata ku berkeliling mencari sosok Revand. Biasa nya jam segini dia sudah pulang kuliah. July sibuk ngemil sambil ngenet. Bhebi berisik dengan lagu remix yang keluar dari tape. Dia sibuk menghafal gerakan dance. Aku lupa bilang kalau Bhebi dancer. Aku juga lupa bilang kalau aku ini pelupa. Jadi maaf saja.

Dan aku, sibuk menunggu Revand pulang.

“Ya ampun,” jerit July. kami semua menoleh pada nya. “ Ari pemain basket yang ganteng abis itu nge-add aku!”teriak nya makin histeris. Aku memutar bola mata.

“Aduh..kirain apaan! Kalau itu sih, semua orang juga bisa,” umpat Bhebi kesal. Dia sampai menghentikan gerakan dance nya. Oya, aku sudah bilang belum kalau July itu atlet basket? Belum ya, baiklah akan ku ceritakan. July itu atlet basket yang hebat. Dia sudah mengikuti banyak pertandingan keluar kota. Terakhir dia di kirim ke Solo bersama tim basket disekolah ku. Maka nya badannya tinggi sekali dan kulit nya agak hitam. Teman-teman sekelas menjulukinya ‘Simon’. Arti nya Si Monster. Dia kadang marah, tapi kalau di panggil Simon, noleh juga.

“Tapi ini kan beda. Ya ampun! Ini nih nama nya, pucuk di cinta ulam pun tiba,” Nah, kalau sudah begini dia jadi ingat peribahasa. Kenapa kalau ulangan jadi lupa semua nya? Apa dia punya gejala penyakit Alzheimer?

Pintu pagar rumah Wulan berderak-derak. Tanda Revand pulang.

“Bentar,” teriak Wulan.

Jantung ku tidak bisa terkontrol. Aku pura-pura sibuk dengan novel ku yang baru saja ku beli hari ini. July masih sibuk ngenet. Bhebi mematikan lagu dan segera melompat ke wastafel. Cuci muka. Sisiran. Bedakan. Revand masuk dan tersenyum pada kami semua. Aku mengintip dari balik novel ku. Bhebi tersenyum lebaaarr banget. Revand balas tersenyum. Dia menatap ku sesaat dan tersenyum. Tapi kemudian dia tidak berpaling dari ku. Dia tertawa renyah. Aku tertawa aneh. Aku yakin aneh sekali. Karna sekarang Revand berjalan kearah ku. Aku bisa merasakan jatung ku hampir menembus tulang rusuk. Dia mengusap rambut ku. Kukira. Ternyata dia membenarkan letak novel ku yang terbalik. Wajah ku langsung panassss.

Bhebi belum berhenti tertawa sejak tadi. July yang tidak melihat kejadiannya-tapi telah diceritakan sedetail-detail nya oleh Bhebi resek-ikut tertawa. Wulan mencibir. Dia bilang aku norak. Karna sudah sering bertemu Revand masih juga salting. Dan aku, masih menahan malu. Mereka tidak tau saja kalau aku naksir berat pada Revand. Ya, ya, aku tau semua orang akan naksir pada nya. Tapi aku beda. Kalau mereka tau, habis sudah.

“Berhenti,” jerit ku. Mereka berhenti tertawa.

1 detik.

2 detik.

3 detik.

Suara tawa mereka kembali terdengar.

Aku kembali pada rutinitas ku sehari-hari. Mendengarkan kisah kasih Diza dan Bagas di kampus. Kali ini dia bercerita soal Bagas yang tadi pagi menjemput nya. Dia bilang aku benar-benar sial tidak bisa melihat wajah ganteng nya dan kembali berjanji akan memperkenalkannya padaku.

“Berapa kali sih kakak udah janji kayak gitu?”

Kak Diza nyengir. “Iya deh. Janji.”

“Halah, bilang kayak gitu juga udah seribu kali sejak kakak cerita soal Bagas,”

“Hush, kak Bagas.” Ralat nya.

“Iya, iya. Kak Bagas,” kata ku meniru nya.

Aku cerita tidak ya, soal Revand. Aku kan juga sedang naksir cowok. Congek juga sih jadi pendengar terus. Tapi jangan kan pedekate, udah bisa menghirup oksigen yang sama dengan Revand saja aku sudah senang luar biasa.

“Kamu ga lagi naksir cowok?” Tanya kak Diza tiba-tiba membuat ku merah. Wajah maksud ku.

“Pasti iya,” ledek kak Diza.

“Apaan sih, sok tau aja.” Elak ku.

“Bener?” selidik nya. Aku memundur kan wajah, takut dia bisa melihat wajah merahku.

“Huh, ga mungkin!” Dasar. Kalau sudah tau kenapa masih tanya. Aku diam sebentar. Kak Diza menatap ku. Terus menatap ku. Ya sudah, ya sudah, aku menyerah.

“Oh, jadi naksir anak kuliahan nih?” ledek nya setelah aku cerita soal Revand.

“Emang kenapa? Emang anak SMA cuma boleh sama anak SMA, terus anak kuliah sama anak kuliah?” protes ku. Kak Diza cuma tertawa.

“Ya enggak, biasa nya, anak SMA tuh masih main-main. Kalau udah kuliah biasa nya lebih serius.” Aku melotot.

“Jadi maksud nya, aku bakal bikin cowok kuliahan itu patah hati gitu?”

“Ya…kakak ga ngomong kayak gitu loh,” kata nya dengan wajah innocent. Aku menggigit tangan nya dengan gemas. Kak Diza berteriak sambil mencubit pipi ku. Aku ikut menjerit dan melepaskan gigitan ku.

Bunyi pintu terbuka.

Aku dan kak Diza segera mengambil posisi tidur. Itu pasti ibu dan sore-sore begini jamnya hal-hal membosankan. Hal-hal membosankan = cuci piringÂș + menyapu¹ + mengepel lantai² + ….beres-beres³.

“Diza, Anya. Bangun. Sudah sore. Beres-beres dulu,” suara ibu terdengar dekat. Kemudian disusul suara ‘jeglek’. Itu pasti suara jendela ditutup. Heran, ibu hobi sekali menutup jendela. Sampai-sampai suatu malam ibu melihat jendela tetangga belum di tutup, ibu memaksa mampir kerumah tetangga untuk memberi tau kalau jendela mereka belum di tutup.

“Nanti banyak nyamuk,” begitu kata nya.

Aku dan kak Diza diam saja. Aku sudah ingin tertawa. Tapi ku tahan. Kasur nya berderak-derak. Pasti ibu sedang mengguncang-guncang kak Diza. Oh, kali ini aku yang diguncang. Kami tidak bereaksi.

“Kalian tidur?” Tanya ibu. Ibu ini kadang aneh sekali. Orang tidur kok diajak ngomong. Ya, walaupun kita cuma tidur bohongan. Tapi ibu kan tidak tau. Ternyata kak Diza lebih aneh.

Dia menyahut, “Iya,”

Aku langsung bangun dan mencubit pantat nya dengan gemas. Bagaimana sih? Orang lagi tidur kok menyahut. Jelas saja ketahuan bohong nya. Alhasil kami beres-beres dengan bonus ceramah.

“Kalian itu anak perempuan, bla, bla…kalau malas, nanti bla, bla…calon ibu rumah tangga, bla, bla…harus dibiasakan dari sekarang bla, bla….dan bla, bla, bla.” Heran, ibu suka sekali menceramahi kami. Mungkin di ulang tahunnya yang tinggal 3 bulan lagi dia akan melaunching bukunya “Cara Mendidik Anak”.

“Kak, sapu halaman depan, sana. Aku yang sapu ruang tamu.” Kata ku malas. Halaman itu banyak sampah nya. Daun-daun kering yang jatuh kadang menyelip diantara pot-pot tanaman. Itu tidak bisa di sapu. Harus dipungut dulu, baru bisa ikut disapu. Aku malas harus nungging-nungging untuk mengambil daun kering. Malah kadang aku bertemu kodok. Hiii…

“Enak aja. Anak kecil ga boleh nyuruh-nyuruh yang lebih tua. Kakak yang sapu ruang tamu. Kamu sapu halaman.” Putus nya. Lama-lama kakak makin mirip ibu.

“Iya, nenek,” kata ku sebal. Tapi aku berjalan juga ke halaman. Emang nasib jadi adik. Selalu di suruh-suruh. Contoh nya saja saat aku umur 6 tahun. Ibu menyuruh kakak ke warung untuk membeli bawang putih, tapi kakak malah bilang begini, “Anya aja bu. Sekalian dia belajar supaya berani ke warung sendiri,”. Ibu langsung mengiyakan. Apaan sih? Kalau cuma ke warung saja aku tidak perlu belajar khusus kan? Tinggal berjalan ke warung, bilang kalau mau beli bawang putih, berikan uang nya, dan pulang. Selesai. Memangnya beli bawang putih seperti mengerjakan peer matematika. Mesti belajar dulu. Huh…

Aku sudah mengambil sapu dan bersiap untuk menyapu, saat kucing peliharaan ku- nama nya Nicil –menggelendot manja di kaki ku. Jadi kuputuskan untuk bermain dengannya sebentar. Aku meletakkan sapu dan mengintip kedalam. Ibu sedang sibuk masak didapur. Aman. Aku menghampiri Nicil dan mengelus-elus kepala nya. Dia mengambil posisi tidur didekat kaki ku. Ibu paling tidak suka aku bermain dengan kucing. Kata nya bulu nya bisa membuat anak perempuan mandul. Aku percaya itu. Tapi itu kalau sampai memeluk kucing atau tidak cuci tangan sehabis mengelus-elus kucing. Aku tidak. Aku tidak pernah sampai memeluk kucing ku-karna ku pikir dia sering begelut-gelut di tanah dan kalau buang air tidak pernah cebok-dan kalau sehabis bermain dengannya aku selalu cuci tangan. Jadi aku aman kan?

“Kucing itu jorok. Tidak pernah mandi, tangan nya saja di pakai berjalan. Tidak pernah cuci tangan dan kaki juga.” Begitu kata ibu. Haloo?? Kalau kucing bisa mandi, jalan pakai dua kaki, selalu cuci tangan sebelum makan atau cuci kaki sebelum masuk rumah, kenapa Tuhan tidak menciptakan kucing menjadi manusia saja? Aneh-aneh saja ibu itu.

“Kucing itu mandi kok. Tapi cara nya lain. Dengan bergulung-gulung di tanah atau menjilat-jilat tubuh nya,” kata ku menyangkal. Selalu begitu.

Dan ibu pasti berkata begini, “Nah, itu bukti nya kucing itu jorok. Tanah itu kan kotor. Kok dipakai mandi. Terus kalau mandi dengan dijilat-jilat, lidah nya itu lho, bekas menjilati bokong juga.”

Kalau sudah begini, aku diam saja. Malas berdebat. Sama saja seperti memperdebatkan kenapa rambut itu nama nya rambut, atau kenapa kaki nama nya kaki. Mana aku tau. Saat aku lahir, memang sudah begitu.

Aku menyudahi acara bermain dengan Nicil. Setelah cuci tangan aku segera menyapu halaman. Detik berikut nya ibu keluar dan menyuruh ku membeli terasi sesudah menyapu. Hufh.. untung saja aku sudah selesai bermain. Kalau tidak ibu bisa murka. Segera ku selesaikan tugas menyapu ku dan segera meluncur ke warung depan.

Diperjalanan aku bertemu Belcil, kucing Nita-teman seperumahan sekaligus sahabat sejati ku. Aku tidak mengelus nya, hanya memanggil nama nya. Begitu saja dia sudah mengerti. Sudah terbiasa dengan ku. Kami memang para penyayang kucing. Nama kucing kami pun mirip-mirip. Contoh nya saja Nicil dan Belcil. Orang-orang bilang nama kucing kita aneh-aneh. Biar saja. Toh mereka tidak tau asal nama itu.

Baiklah, akan kuberi tau. Sebenarnya nama kucing kami ada sejarah nya. Kucing pertama ku yang kupungut didepan rumah tetangga ku, nama nya Kiki. Orang-orang perumahan ku bilang kucing itu menggelinding dari atap rumah pak Pujo. Tapi tidak ada yang mau mengambil. Karna 50% aku kasihan dan 50% nya lagi ingin punya peliharaan, jadi aku pungut saja. Kiki itu berjenis kelamin jantan. Kemudian dia kawin dengan kucing tetangga sebelah rumah ku. Kucing betina itu melahirkan 3 ekor anak kucing. Aku beri nama Kicil(karna mirip dengan Kiki, arti nya Kiki kecil), Nicil (Karna berwarna kuning, arti nya Kuning kecil) dan satu lagi bernama Yocil (Kalau yang ini aku ceritakan bisa panjang sekali. Jadi tidak usah saja ya!). Waktu ibu tau aku memelihara kucing, wah, jangan ditanya. Dia marah besar. Tapi aku tetap keukeh mau memelihara.

Oya, kalau kucing Nita, malah lebih aneh lagi. Aku lupa dia dapat kucing pertama nya dari mana. Yang jelas nama kucing itu Riko. Riko kawin dengan kucing kedua ku yang kupungut-nama nya Kusi (Sebenar nya mau dinamakan Pusi, tapi itu sudah biasa. Jadi kuganti dengan Kusi ). Riko punya anak 5. Nama nya aneh-aneh semua. Chiki, Chitos, Chitato, lalu siapa lagi aku lupa. Setelah ku pikir-pikir ternyata semua itu nama makanan. Malah mereka punya marga. Miaudahuhu Alexander Graham Bell. Aku saja sempat bingung mengucapkannya. Tapi ku ingat-ingat, nama belakang nya mirip nama penemu yang terkenal. Tapi aku lupa siapa jelasnya.

Yah, pokok nya seperti itulah. Kalau kuceritakan lagi, tidak akan habis-habis. Sekarang Nita sudah punya turunan ke lima Riko. Nah, hitung saja sendiri. Ya ampun! Aku lupa harus membeli terasi. Jadi aku segera mencuci tangan dan berlari ke warung. Sampai dirumah aku di beri siraman rohani mengenai kebiasaan mampir-mampir yang tidak boleh dilakukan anak perempuan beserta akibat-akibat nya.

“Anya! Ada telepon tuh!” teriak Kak Diza dari ruang tengah. Aku setengah berlari menghampiri telepon. Belum sempat aku bicara, kak Diza memberi isarat supaya aku jangan lama-lama. Karna Brad Pitt-nya mau telepon. Huh..

“Halo,” sapa ku.

“Anya, ya ampun! Aku lagi seneng banget nih!” oh, July.

“Kenapa?”

“Ari ngajakin aku ketemuan!” teriak nya histeris.

“Terus, terus?” huh, aku iri juga. Dia bisa deket dengan gebetannya. Sedangkan aku, boro-boro ketemuan. Udah sering ketemu aja masih ga ada perkembangan apa-apa. Ibarat nanem pohon ga tumbuh-tumbuh akar nya.

“Ya, kita mau ketemuan pas tanding basket nanti,” kata nya malu-malu.

“Oh, ada tanding basket? Kapan?” oya, aku ini supporter sejati.

“Oh, aku belum bilang ya? Seminggu ini kan ada tanding di GOR, Hipocrates Cup. Mahasiswa FK Unud yang ngadain. Nonton ya?” Sebenarnya dia tidak usah bilang begitu. Dia sudah tau aku pasti akan nonton.

“Pasti. Entar kasih tau orang nya ya? Aku pengin tau kayak gimana sih, cowok basket yang kamu bilang ganteng banget itu?” aku tertawa. July mencibir.

“Liat aja entar. Ehm.. kulit nya, coklat terbakar sinar matahari. Apa lagi kalau dia..,”

Kakak mencolekku. Komat-kamit tanpa suara.

“Seksi gitu deh….”

Kakak melotot, “Cepetan!” kata nya tanpa suara. Aku jadi tidak konsen dengan cerita July. Aku hanya dengar setengah-setengah.

“Jam 4 udah mulai. Mau ku jemput, atau….”

“Bentar,” balas ku berbisik.

“Nya? Anya? Kamu dengerin ga sih?” protes July.

“Denger, denger. Eh, sambung besok deh di sekolah. Nih, kakak ku ribut mau telepon. Udah ya. Da..,”

-tut tut tut-

“Kalau mau ngegossip jangan di telepon, arisan sana!” kak Diza segera duduk manis disampin telepon. Menunggu telepon berdering dan-aku yakin- sebelum deringan pertama selesai dia akan langsung mengangkat nya.

“Kalau mau pacaran jangan di telepon, di Renon sana!” kata ku mengejek. Kak Diza cuma melotot. Renon itu semacam lapangan serba guna. Kalau pagi dan sore, biasa nya dipakai jogging. Kadang kalau ada hari peringatan, disana dipakai untuk mengadakan apel upacara bendera. Kadang juga ada yang memakai nya untuk menyelenggarakan konser. Yang negative, pasangan-pasangan yang berotak mesum akan menuju kesana malam minggu. Kalau malam, disana super duper gelap. Banyak pohon-pohon besar dan semak-semak. Entah apa yang mereka lakukan. Yang jelas, orang-orang bilang disana tempat nya orang pacaran. Kalau aku bilang sih, disana tempat orang-orang kampungan. Wong, baru turun saja sudah dikerubuti nyamuk.

-drrrtt drrrttt-

Hape ku bergetar.

1 New Message

X. July

Heh, spa yg nelpon se sbnernya?

Blom slse ngmg tao!!!

Sudah ku duga. Pasti dia sms begini. Soal nya kalau dia yang telepon bisa sampai hitungan jam.

Reply ? Yes.

Sori,.

Kakak q bawel. Dy mw di tlp ma gbtan nya.

Bso lnjtn di cqul d,

Maav, . .

Sending.

Hoaahmm….

Jam 6 pagi. Tumben. Kulirik kak Diza yang masih mendengkur halus. Ku goyang-goyang kaki nya. Tidak bereaksi. Ku goncang lebih keras lagi. Dia ngolet sebentar. Lalu tidur lagi, dasar.

Aku mengaca sebentar. Lalu masuk kamar mandi. Keluar setelah sepuluh menit berada di dalam. Kak diza masih tidur juga. Aku menciduk sedikit air dengan tangan ku. Berhati-hati agar tidak habis di tengah jalan. Saat sampai ditepi kasur, kuteteskan air itu di wajah nya. Dia bergidik. Mengambil posisi tidur yang lebih nyaman. Jadi, ku hujani saja wajah nya dengan sisa-sisa air ditangan ku. Akhir nya dia bangun sambil mengusap-usap wajah nya yang basah. Aku ngacir lagi kekamar mandi.

“Anya!!!”

Aku berjalan perlahan di lobi sekolah. Suasana sekolah masih lumayan sepi. Ini gara-gara aku tiba-tiba dapat mukjizat sehingga bisa bangun pagi. Jadi aku mengundur waktu dengan berjalan pelan-pelan. Siapa tau nanti bertemu seseorang yang kukenal dan bisa berjalan ke kelas sembari ngobrol. Ku tengok kebelakang ada dua orang dari kelas sebelah. Aku kenal, tapi tidak begitu akrab. Mereka tersenyum pada ku. Aku membalas nya kemudian berpaling kedepan. Kuputuskan untuk mampir kekantin sebentar. Mengisi perut.

“Donat nya satu sama aqua gelas satu.” Kata ku sambil menyodorkan selembar seribuan pada Bu Cok. Bu Cok mengucapkan terima kasih. Detik berikut nya dia mengibas-ibaskan uang itu pada dagangan nya. Sebagai penglaris kata nya.

Setelah lima menit berlalu tidak ada tanda-tanda July datang (kalau Wulan dan Bhebi sih, jangan harap) aku memutuskan masuk kelas. Ternyata dikelas sudah ada beberapa orang yang datang.

“Pagi,” sapa ku pada teman-teman. Mereka hanya tersenyum sesaat, setelah itu menekuni kembali kegiatan mereka. Sibuk banget mereka.

“Nanti Bagas mau main kerumah pulang kuliah. Kalau kamu pengin lihat dia, jangan mampir-mampir lagi. Langsung pulang,”

Mengingat itu, aku jadi sedikit bersemangat. Setidaknya aku jadi ingin cepat-cepat memulai pelajaran dan segera pulang. Aku akan melihat Brad Pitt versi Indonesia. Huh, lihat saja, kalau jauh dari yang nama nya ganteng, pasti aku akan jadikan dia bahan ejekan. Hm..tapi kalau beneran ganteng gimana ya?

Lamunan ku terusik dengan kedatangan Wulan. Heh?? Tumben dia datang pagi. Apa hari ini semua orang sedang mendapat mukjizat? Meyadari tatapan ku yang aneh, Wulan tertawa.

“Kenapa kamu? Heran teman mu yang cantik ini bertambah cantik?” kata nya ringan.

“Hah? Fitnah macam apa tuh?” ledekku.

“Eh, enak aja. It’s real, you know?”

Nah lho, sok british juga.

“No,” sahut ku cepat.

“Liat dong!” kata nya sambil mengibas-ibaskan rambut ikal nya di depan muka ku. Aku memundurkan kepala, siapa tau nanti ada yang loncat dari kepala nya. Kutu misal nya. Oh, ya ampun. Jahat sekali aku. Tidak mungkin teman ku kutuan.

“Apa?” Tanya ku lagi. Aku memang tidak tau.

“Ini, poni baru!” kata nya gemas. “Ga perhatian banget sih sama temen sendiri!”

“Oh, kirain,” sahut ku asal.

“Kirain apa?”

“Enggak,”

“Apa?”

“Enggak,”

“Apa?!” desak nya.

Ada yang terbang dari kepala mu barusan,” goda ku.

Wulan mendelik, “Apaan yang terbang? Ambilin dong,” wajah nya sedikit ketakutan. Aku menggeleng.

“Ga ah, kalau kutu gimana?” kata ku sambil memasang tampang ngeri.

“Aaa…masa sih?” Wulan semakin panic. Dia mengibas-ibaskan rambut nya.

“Bohong ding,” celetukku.

Wulan berhenti mengibas-ibaskan rambut. Dia menatapku jengkel.

“Kurang ajar.” Umpat nya. Kemudian dia sibuk dengan sisir dan cermin nya.

Aku bengong lagi.

Sebuah kepala nongol dari balik pintu. Anisa. Ngapain dia? Dia melambai padaku. Aku berjalan kearah nya.

“Nanti kumpul jam ke tiga. Kita mau rapat,” kata nya kemudian berlalu. Aku mengangguk. Walaupun dia sudah tidak bisa melihat nya lagi.

Oya, aku belum cerita kalau aku ini anggota teater ya? Aku ikut dalam ekstra teater di sekolah ku. Nama nya Teater Topeng. Aku lebih sering menjadi penulis naskah dan sutradara dibanding pemain. Dulu sebelum menjadi sutradara, aku sering menjadi pemain operet dan drama. Tapi berhubung sekarang aku jadi sutradara, jadi aku tidak boleh main.

“Entar ga konsen sama tugas,” begitu kata pelatih ku.

Kayak nya temen-temen mau ngomongin soal lomba drama yang diadain provinsi setiap setahun sekali. Nama nya PSR. Kita memang selalu ikut dalam lomba ini. Supaya kita bisa memberikan bukti kepada sekolah kalau teater juga bisa menyumbangkan prestasi untuk sekolah. Sayang nya sekolah kurang peduli dengan kegiatan kami.

“Anya!!” teriakan histeris itu membuatku kaget setengah mati.

“Apaan sih Jul, budek nih!” aku mengorek-ngorek telinga ku seolah budek betulan. Wajah nya berbinar-binar, aku sampai bisa melihat bunga-bunga yang berterbangan disekitar nya. pasti sebentar lagi, episode 2 cerita nya bakal dimulai.

“Eh, entar aku mau ketemuan sama Ari! Ya ampun, ya ampun!” kepala July menggeleng-geleng takjub. Nah kan. Apa sih hebat nya Ari? Memangnya setiap hari Ari makan apa? Nasi atau emas?

“Ari siapa?” Wulan ikut duduk diatas meja bersama July.

“Kamu bego atau pura-pura bego sih?” kata July sebal dengan kelemotan Wulan.

“Aku ga bego dan ga pura-pura bego,” kata nya santai. Aku menggeram. Apa lagi July.

“Haaah….,” seru ku dan July berbarengan.

“Jam berapa?” Tanya July lemas.

Aku mendengus kesal. Ini sudah ke lima kali nya July bertanya ‘Jam berapa sekarang?’ sejak lima belas menit yang lalu. Bhebi memutar bola mata nya. Tanda dia

bosan. Yang aku heran Wulan hanya diam saja dari tadi. Tidak menampakkan tanda-tanda ngatuk atau bosan. Tapi memperhatikan guru juga tidak.

“Memang nya waktu bisa loncat lima menit setiap detik? Jangan tanya jam melulu ah! Capek jawab nya!” omel ku. July mengusap-usap mata nya. Aku bisa melihat anak setan sedang bergelantungan di bulu mata nya. Pasti berat sekali untuk membuka mata.

“Sst, sst,” bisik ku pada Wulan. Dia mendongak.

“Kenapa sih?” bisik ku berusaha tidak kelewat kencang dari suara guru.

“Apa?”

Aduh. “Kamu kenapa?” ulang ku gemas. “Kok diem aja? Sakit?” tanya ku basa-basi. Dia memang sering sakit. Segala macam penyakit pernah dia idap. Sakit pinggang, parangitis, sakit kepala, kram perut, sariawan, dan lain-lain nya. Ini gara-gara dia tidak pernah mengkonsumsi vitamin c. Dia paling anti dengan jeruk. Pokok nya yang mengandung vitamin c dia jauhi. Bukan nya tidak suka, tapi setiap makan jeruk atau vitamin c, dia pasti langsung sakit perut terus diare. Aneh kan? Di mana-mana orang perlu vitamin c, eh, dia malah alergi. Sedangkan vitamin c ga bisa di hasilkan oleh tubuh, terang aja dia sering sakit.

“Ini daging tumbuh dia pinggang ku nyut-nyutan,” sahut nya lirih.

Nah, satu lagi. Dia punya daging tumbuh sebesar biji salak di pinggang nya. dulu sih masih kecil sekali saat pertama dia memperlihatkannya pada kita. Tapi makin lama-makin besar. Kita udah sering bilang kalau itu bisa saja tumor. Tapi begitu kita bilang harus di operasi, dia langsung menyangkal habis-habisan kalau itu bukan tumor.

“Kamu tuh, udah di suruh cek ke dokter, ga mau!” omel ku masih berbisik tapi mata ku melotot. Orang ini memang keras kepala.

“Apaan sih?” sahut Bhebi tiba-tiba. Kelihatannya dia kesal karna tidur nya terganggu. Aku memberi isarat dengan dagu ku.

“Kenapa dia?” bisik Bhebi. “Penyakit nya kambuh?” goda nya.

“Itu, tumor di pinggang nya,…,”

“Bukan tumor!” potong nya.

“Ya apalah itu. Yang jelas itu harus di operasi. Kalau ga mau segede bola basket.” Kata ku menakut-nakutinya. Biar saja. Kalau ga begitu, dia tenang-tenang aja.

“Ya tuhan!” kata nya takut sambil mengetok meja tiga kali.

“Mau kamu ngetok meja seribu kali juga, kalau ga operasi ga bakal sembuh,” sahut July membuat kita semua kaget.

“Masih idup, Jul? Kirain udah ngilang ke planet lain,” goda Bhebi. Aku menahan tawa sambil melirik guru di depan. Bu Sri alias Odah-artinya nenek, dalam bahasa bali-masih asik mengajar.

“Sialan.” Umpat July.

“Serius nih!” kata Wulan membuat kita semua focus kembali.

“Serius lah,” aku dan Bhebi menyahut bersamaan.

“Terus gimana?” tanya nya bego. Aku , Bhebi dan July menggeram berbarengan. Anak ini kemana aja sih? Dari jamannya nulis pakai lontar, kita udah bilang supaya tumor nya itu di operasi SECEPAT NYA!

“Nih, dengerin ya,” kata ku sambil mengambil cater dari kotak pensil Bhebi. “Tarik tumor mu, trus iris pake ini,” kataku sambil mengacungkan cater ke depan muka nya. July dan Bhebi reflek menunduk menyembunyikan tawa mereka. Aku meletakkan cater dengan tegas di meja Wulan. Mulut Wulan komat-kamit mau melawan, tapi kemudian malah ikut tertawa. Aku yang tadi nya kesal jadi ikut tertawa juga. Habis nya anak ini susah banget dikasih tau!

“Serius nih!” ulang nya lagi.

“Eh, ga usah di operasi Lan,” kata Bhebi tiba-tiba. Aku dan July menoleh berbarengan. “Biarin aja sampai gede kayak pantat mu. Siapa tau kamu tambah seksi dengan tiga pantat.” Setelah berkata begitu Bhebi menunduk lagi. Tertawa tanpa suara. Kelihatannya memang jahat. Menertawakan penyakit orang. Tapi kalau tidak di takut-takuti begitu, dia ga akan mau operasi. Sebetulnya kita peduli dengan Wulan.

“Terus gimana dong?” tanya nya lagi.

“Lumurin telur terus goreng,” kata ku sebal.

“Nama nya Tumor Goreng Asam Manis,” tambah Bhebi.

“Teman makan nya Jus JERUK,” tambah July. Aku nyaris ngakak.

“Tega banget kalian,” sahut nya lirih. Kita berhenti tertawa.

“Kamu yang tega sama diri mu sendiri Lan,” suara ku melembut.

“Ya udah deh. Entar aku ngomong sama ajik* ku,”

*ajik dalam bahasa bali artinya bapak.

“Naaah!” kita bertiga berkata berbarengan. Sadar menarik perhatian, kami langsung mengambil kesibukan masing-masing. Yang penting Wulan udah mau operasi.

Ada apa itu?” suara Odah membuat kita semua gelagapan. Aku pura-pura menoleh mencari orang yang dimaksud Odah. Padahal jelas-jelas yang dimaksud itu kita berempat.

“Siapa sih yang ribut?” kata ku masih berpura-pura.

July bersembunyi dibalik punggung ku. Jelas saja tidak ada guna nya, badanya itu dua kali besar badan ku. Mau sembunyi gimana? Bhebi juga ikut-ikutan celingak-celinguk ke daerah rawan ribut. Alias bangku sebelah. Karna deretan belakang itu isi nya cowok-cowok semua. Ditambah lagi kepura-puraan Bhebi bertanya pada ku ‘Siapa lagi yang bikin ulah?’ . Aku sebetulnya ingin sekali tertawa. Tapi kutahan demi nilai bagus diakhir semester.

“Jadi, kita keputusannya Anya tetap jadi Sutradara,” kata Ipank sambil menatapku minta persetujuan. Aku mengangguk sanggup.

“Naskah yang kita pakai kamu yang putuskan ya?” tanya nya lagi. Mata ku melebar. Aku paling tidak bisa mengambil keputusan sendiri untuk kebaikan bersama.

“Jangan sendiri dong. Anak-anak kelas tiga bantu juga. Aku kan ga enak milih naskah sendiri. Entar kalau ga cocok sama kalian gimana? Lagian banyak kepala lebih baik dari pada satu kepala kan?” kata ku beralasan. Mereka mengangguk.

“Ya udah, kalau gitu, Anya, aku, Dandi, Rani dan Mpol. Kita entar sore ke kos Tomo. Langsung aja kumpul disana jam 5,” putus Ipank. Yang disebut nama nya cuma mengangguk. Ipank memang cocok jadi ketua Teater. Tegas mengambil keputusan. Tidak seperti aku.

Setelah sekertaris menyimpulakan seluruh isi rapat. Kami dibubarkan. Tapi tidak ada satu pun anak yang beranjak kembali ke kelas mereka. Semua masih asik ngobrol di aula. Dasar. Kita memang suka memanfaatkan dispen yang diberikan sekolah. Yah, tidak sering-sering sih. Tapi kalau disuruh kembali mendengar ocehan guru didepan kelas, seribu juta kali aku lebih memilih bengong di aula.

Aku duduk di tepi jendela sambil melongok keluar. Sebenarnya tidak ada tontonan menarik disana. Aku hanya melihat barisan-barisan motor yang tertata rapi. Tapi dari pada tidak ada kerjaan. Ya sudah lah. Aku menarik napas panjang. Sebentar lagi ada proses produksi. Aku kangen sekali masa-masa itu. Masa-masa kita akan memulai sesuatu yang baru. Membuat sebuah pementasan yang akan di tonton banyak orang. Lalu orang akan bertepuk tangan, tertawa, ikut bersedih bahkan terbawa suasana yang diciptakan oleh para pemain. Aku rindu sekali. Apa lagi teringat bagaimana keadaan di belakang semua itu. Saat aku pusing mengatur para pemain, setting dan tetek bengek nya. Saat itu rasa nya aku ingin sekali lompat dari lantai tiga. Ketika para actor stress berat karna tidak bisa mencari karakter tokoh mereka, seksi kostum dan tata rias sibuk mencari kostum yang tidak lengkap, para actor mengeluh badan pegal-pegal karna straching yang ekstrim dan tawa tangis yang mewarnai malam-malam yang kami lalui saat latihan.

Bulu kuduk ku merinding. Refleks aku menggosok-gosok lengan.

“Kenapa?” tanya Rani yang tiba-tiba saja sudah duduk didepan ku.

Ga. Aku cuma kangen banget sama proses produksi. Walaupun banyak cobaan nya, rasa nya aku pengin mengulang semua itu.” Kata ku sok puitis. Rani tertawa.

“Aku juga kok. Aku kangen banget waktu kamu ngambul karna anak-anak pada ga mau diem ngedengerin kamu ngomong.” Rani tertawa lagi. Aku cemberut.

“Iya. Aku kesel banget sama mereka.” Kata ku sambil mengingat-ingat. Ya ampun. Aku sampai menangis waktu itu. Saking kesal dan kebingungan sendiri harus mengatur bagitu banyak pemain. Lucu juga. Sampai sekarang aku jadi mendapat julukan ‘Sutra Rada suka ngambul’.

“Anya,” aku menoleh mendengar suara lirih itu. Oh, Inung.

“Apa?”

“Ehm., kayak nya aku ga bisa ikut latihan tiap hari. Orang tua ku ga setuju aku ikut teater,” kata nya dengan tatapan sedih. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum simpati. Setelah dia pergi, Rani menatap ku seolah meminta pendapat.

“Gimana ya, kalau seandai nya actor kita yang bakal kayak gitu. Pasti latihan jadi ga efektif,” aku ingat dulu ada kejadian seperti itu. Sudah seminggu sebelum pementasan, salah satu pemain yang memegang rol, malah ga bisa main. Akhir nya Rani yang menggantikannya. Untung nya Rani actor yang bagus, jadi dia bisa menyesuaikan diri dengan peran nya yang dadakan itu. Malah jauh lebih bagus dari pada pemain sebelum nya.

“Mudah-mudahan aja enggak deh.” Kata Rani. Kelihatannya dia juga ragu. Karna bagi kita pementasan ini penting sekali arti nya. Ini salah satu usaha kita untuk memberikan bukti pada sekolah bahwa Teater Topeng juga bisa memberikan sesuatu yang bisa di banggakan oleh sekolah. Selama ini sekolah selalu menganggap remeh teater. Bahkan sekolah hampir meniadakan ekstra teater. Tapi untung saja karna anggota kami yang selalu banyak peminat nya dari murid-murid tahun ajaran baru, sehingga sekolah tidak bisa seenaknya membubarkan kita.

“Aku balik kekelas deh,” kata ku sambil melompat turun dari jendela.

“Dooh…yang kelas IPA 1,” ledek Rani.

“Iya nih, mau ikut olimpiade Fisika,” sahut ku asal. Rani tertawa.

“Apaan tuh Olimpiade Fisika?” Rani pura-pura bego.

“Nama kerennya lomba karung!”

“Aku duluan! Dagh semua!” aku mencium pipi mereka bergantian.

“Mau kemana? Buru-buru amat!” teriak Bhebi.

Ada deh,” kata ku jahil.

“Eh, tunggu Nya!” aku yang sudah di ambang pintu melongok kembali kedalam.

“Apa?” tanya ku tidak sabar. Wulan ini ada-ada saja.

“Ikut sampai depan. Aku di jemput Revand.”

Aku memboncengi Wulan sampai kedepan sekolah. Sebenarnya aku pengin sekali menunggui dia sampai di jemput oleh pangeranku. Ehm, maksudku oleh Revand. Tapi kalau di pikir-pikir lagi aku bisa sering-sering bertemu Revand, tinggal datang saja ke rumah Wulan, dan pandangi sampai puas. Tapi kalau Brad Pitt, kapan lagi selain sekarang? Dia itu seperti artis saja. Susah sekali ditemui. Jadi sekarang aku harus merelakan tidak bertemu Revand sekali saja. Oh, aku pasti akan kerumah Wulan besok untuk mengganti hari ini.

Akhir nya , akhir nya. Aku bisa bertemu juga dengan si Brad Pitt itu. Ehm, kayak nya aku harus latihan menyebut nama nya. Bisa-bisa nanti aku memanggil nya Brad Pitt. Kan tidak lucu. Missal nya, “Hai? Jadi kamu yang bernama Brad Pitt?” lalu dia akan menggeleng. Tentu saja. Dan aku akan jadi orang tolol nomer satu di Dunia.

Aku sampai dirumah.

Aku tidak melihat tanda-tanda kedatangan tamu dirumah ku. Misal nya mobil atau motor terparkir di teras ku. Yang ada hanya, yah…Nicil. Aku segera turun dan berlari masuk rumah. Aku melewati Nicil begitu saja. Biasa nya aku akan mengambil kesempatan mengelus nya sekali atau sekedar mencubit hidung nya yang basah. Nicil mengeong keras sambil berlari mengikuti ku.

“Hush, hush,” aku menutup pintu supaya Nicil tidak bisa masuk. Kalau ibu tau, wah, jangan di tanya. Jatah makannya akan berkurang selama seminggu.

“Nya, kok baru dateng?”

Aku langsung menoleh kaget. Saat melihat kak Diza, aku bernapas lega. Ku pikir Ibu. “Eh, Brad, ehm Bagas mana?” tembak ku.

“Kak Bagas,” ralat nya. Haduh, sempat-sempat nya dia meralat.

“Iya, iya. Kak Bagas. Mana?” tanya ku lagi.

“Udah pulang,”

“Hah?!” aku nyaris berteriak. Apa-apaan ini? Aku sudah rela tidak melihat Revand-ku hari ini. Sekarang dia malah dengan santai bilang kalau Bagas sudah pulang. Jadi apa yang ku dapat hari ini? Nol besar.

“Dia udah pulang dari tadi. Kata nya , dia baru ingat harus kerumah Nenek nya,”

“Aaaahhh…! Kakak kenapa ga bilang dari tadi!” aku melemparkan ransel ku ke sofa dengan kesal. Sepatu sebelah kanan ku, ku lempar begitu saja ke sebelah sofa.

“Ya maaf,” kata nya ringan. Aku mendelik. Sepatu yang sebelah lagi ku banting didekat kaki ku. Aku melenggang masuk kamar.

Aku kesal dengan kakak. Kesal sekali. Bukan hanya karna aku tidak bisa melihat Bagas hari ini. Tapi aku juga tidak melihat Revand. Dan satu lagi yang membuat ku kesal setengah mati. Kadang aku merasa kalau dia sengaja tidak mau mempertemukan aku dan Bagas kesayangannya itu. Kenapa dia ga bilang dari tadi kalau Bagas sudah pulang? Memang nya handphone pada kemana semua? Lenyap?!

Biar saja. Aku tidak akan lagi mencari-cari kesempatan untuk bertemu dengan Bagas. Memangnya siapa dia? Oke, dia emang GEBETAN kakak ku. Dan kak Diza tentu saja dengan senang hati bercerita macam-macam-yang baik-baik saja- tentang Bagas yang membuat ku terkagum-kagum dan ingin sekali bertemu dengannya. Tapi siapa tau saja dia punya sejuta kekurangan. Misalnya suka kentut tiba-tiba saat makan malam yang membuat seluruh anggota keluarga memilih makan di dapur bersama pembantu-atau di teras sekalian dengan peliharaannya- dari pada di meja makan. Atau suka ngupil mengisi waktu bengong saat buang air. Hah…! Aku berharap semua itu benar. Biar dia menyesal. Dan aku bisa berkata dengan lega, “Untung aku belum berkenalan dengan nya,”.

Ya Tuhan. Jahat sekali aku. Kenapa aku bisa berpikiran seperti itu pada kakak ku satu-satu nya. Bagaimana kalau itu terjadi pada Revand? Oh, tidak-tidak. Revand tidak akan seperti itu. Aku melihat gerak gerik nya setiap ia dirumah, tidak ada yang bururk. Tapi aku kan tidak melihat nya sampai kekamar mandi. Bagaimana kalau dia makan kacang sambil…Ah! Aku menggeleng-gelengkan kepala mengusir pikiran-pikiran aneh yang tiba-tiba saja muncul. Sudah, sudah. Lebih baik aku menyibukkan diri saja.

Kak Diza masuk kamar.

Aku pura-pura sedang mendengarkan lagu di hape ku. Mulut ku komat-kamit sambil tetap asik mengotak-atik hape. Saat dia memanggil nama ku aku akan bernyanyi tiba-tiba. Missal nya seperti ini,

“Nya kamu…,”

“Oh, berjuta warna pelangi, di dalam hati…,” lalu aku komat-kamit lagi. Dan saat dia memanggil ku lagi, aku bernyanyi lagi dengan lagu berbeda.

“I tried to be perfect but nothing was worth it,…” lalu diam lagi. Tiba-tiba dia merampas headset ku-yang sebenarnya tidak ada suara nya-dan memasang nya di kuping. Dia menatapku tajam. Aku diam saja.

“Kembalikan,” aku kembali merampas headset ku dan mulai menyanyi lagi. Dia mencopot nya lagi dan meletakkan nya jauh dari jangkauan tangan ku.

“Kamu marah?”

Aku diam.

“Anya!”

“Apa aku harus menuruti semua omongan kakak? Sedangkan kakak ga mau dengerin omongan ku!” kata ku kesal.

“Omongan apa sih?”

Aku mendelik. Jadi dia tidak merasa bersalah sama sekali?

“Udahlah. Capek ngomong sama kakak. Aku mau tidur!” aku menarik selimut dan mengambil posisi tidur. Saat aku memejamkan mata, tiba-tiba selimut ku ditarik.

“Ngomong dulu. Baru tidur. Kalau ga mau, kakak siram pake air!” ancam nya. Aku menggerutu lalu duduk dengan malas-malasan. Kenapa jadi galakan dia?

“Kenapa kamu marah?” tanya nya. Sekarang suaranya lebih lembut.

Aku diam.

“Karna ga bisa ketemu Bagas lagi?” kak Diza diam menunggu jawabanku. “Iya?” tanyanya lagi.

“Iya. Aku sebel sama kakak. Aku di bohongin terus. Kata nya bisa ketemu lah, inilah, itulah. Tapi ujung-ujung nya selalu ga jadi. Kakak sengaja ya ga ngenalin aku ke Bagas?” aku menatap nya kesal. Sesaat ia terkejut dan tidak membantah.

“Kak bagas,” ralat nya menyebalkan.

“Bagas. Bagas si cowok misterius. Bagas yang jangan-jangan hanya bualan kakak!” kata ku kesal. Kak Diza melotot. Aku jadi ciut.

“Kamu tuh cuma belum jodoh aja ketemu sama kak Bagas. Masa sih aku harus nyuruh dia nungguin kamu saat dia ada acara dirumah nenek nya? Kan ga mungkin Nya,” kak Diza membuat pertahanan ku goyah. Aku mengangguk saja. Kak Diza bernafas lega lalu meninggalkan ku keluar kamar.

“Jadi yang mana nih?” Dandi menimbang-nimbang dua naskah di tangannya.

“Yang ini aja deh,” kataku sambil mengambil satu naskah dari tangannya yang berjudul “GERR”. Dandi mengerutkan kening nya.

“Lawan catur juga keren. Asik ceritanya,” aku diam sebentar. Iya juga sih.

“Tapi kalau ‘Lawan Catur’, pemainnya terlalu sedikit. Nanti yang terlibat sedikit dong,” kata ku menyangkal.

“Alah, kayak kamu ga keteteran aja ngehandle orang banyak,” ejek nya.

Ipank, Mpol dan Rani ngakak. Mulai deh. Aku sebenernya males banget berdebat sama orang ini. Ga ada habis nya. Melihat wajah ku yang ditekuk tiga belas, mereka diam lagi.

“Namanya juga usaha. Pasti ada jatuh bangunnya dong,” bela ku. Mereka bertiga mengiyakan.

“Emangnya lagu dangdut, jatuh bangun segala!” balas Dandi. Mereka ngakak lagi. Belum sempat aku menyahut, Dandi nyerocos lagi.

“Jatuh bangun aku mengejar mu…,” Dandi menyanyikan lagu dangdut dengan gerakan-gerakan yang aneh. Mereka tambah ngakak. Aku pengin sekali rasanya memeloroti celana cowok menyebalkan ini.

“Muka mu itu lho, ga cocok jadi penyanyi dangdut! KOTAK!” kataku sambil menggerakkan tangan membentuk persegi. Lagi-lagi tiga orang itu ketawa ngakak. Aku dan Dandi menoleh berbarengan dengan wajah jengkel.

“Sebenernya kalian dukung siapa sih??!!” kata kami berbarengan.

“Pasang-pasang!” Mpol menaruh uang seribuan disebelah ku yang berarti mendukung ku. Ipank ga mau kalah. Dia meletakkan uang seribuan di sebelah Dandi.

“Aku pegang Dandi. Cowok selalu menang!” Ipank menepuk bahu Dandi memberi semangat.

Rani juga tidak mau kalah. “Siapa bilang? Sekarang udah jaman emansipasi wanita, Bang! Aku pegang Anya! Semangat, Nya! Buktikan kalau omongan Ipank itu salah besar! Nol besar sekali!” Rani bertos ria dengan Mpol. Aku mangacak-acak rambut ku sendiri. Mereka ini sarap atau gimana sih?

“Heh! Stop semua! Pilih naskah nya!” kata ku berusaha serius.

“Tuh! Dengerin Anya! Jangan malah jadi provokator dong! Udah, udah. Jangan malah main judi!” kata Dandi pura-pura marah. Tapi tangannya memunguti uang saweran kemudian mengantongi nya.

“Wooooo…!!” seru mereka bertiga sambil mengacak-acak rambut Dandi. Rani malah ngambil kesempatan mencabut bulu kaki Dandi.

“Addaaooowww!” teriak nya sambil menggosok-gosok kaki nya. “Jitak aja deh! Jangan cabut-cabut bulu dong! Ini kan ga ada yang jual pupuk nya!” dikatain begitu, mereka malah semangat mencabuti bulu kaki Dandi. Dandi ngacir berusaha menghindari kejaran mereka. Aku mau ga mau jadi ngakak juga, melihat ekspresi Dandi yang kesakitan sambil menggosok-gosok kaki nya.

“Woooiii!! Udah, udah! Sakit tau!” Dandi jejingkrakan sambil menodongkan serok sebagai perisai nya. Aku ketawa lagi. Gini deh kalau ngumpul, pasti kerjaan jadi ga kelar. Bercanda melulu.

“Eh, eh. Udah. Ntar bapak kos marah. Ribut gini.” Kata ku yang langsung membuat mereka semua nurut. Mereka memang paling takut sama Bapak kos yang terkenal galak. Aku masih cekikikan.

Setelah sesi berdebat dibuka lagi selama sepuluh menit, akhirnya diputuskan naskah GERR pilihanku yang di pentaskan. Karna pemainnya lumayan banyak, jadi banyak yang bisa berpartisipasi. Masalah kesusahan ngehandle orang, nanti kita belajar lagi. Semua nya kan harus bertahap. Kalau segitu-segitu aja, ga bakal maju kan? Rani dan Mpol melancarkan joget kemenangan yang mereka buat semenit yang lalu alias asal-asalan. Uang seribu yang dipasang Ipank jatuh ketangan mereka. Tapi sekarang Rani dan Mpol malah bingung mau membagi uang 3000 itu. Kok ganjil, katanya. Mpol bilang, cowok harus dapat lebih banyak. Cewek itu ngalah. Sedang Rani mulia ngoceh lagi soal emansipasi wanita.

“Nih, nih.” Ipank menyerahkan selembar seribuan lagi ke tangan Rani. “Kayak orang susah semua!” kata nya sok. Sekarang giliran Ipank yang dikeroyok.

Setelah makan malam, aku masuk ke kamar dan bersiap tidur. Capek sekali. Sebenarnya ini jam-jam kak Diza akan mulai lagi dengan dongeng sebelum tidur nya. Tapi rasanya hari ini tidak ada jadwal mendongeng deh! Yah, berhubung kejadian tadi siang, mungkin dia memutuskan hari ini tidak usah curhat dulu tentang gebetannya itu. Akhirnya aku bisa tidur dengan tenang.

“Anya,” panggil kak Diza bersahabat dari balik pintu. Aku yang sudah akan merebahkan tubuh ku, kembali menariknya bangun. Kak Diza masuk sambil cengar-cengir. Rupanya dia sudah tidak mengingat masalah tadi siang. Buktinya sekarang dia mengambil posisi duduk yang nyaman. Tanda dia akan bercerita.

“Tau ga? Tadi sore waktu kamu pergi latihan, Bagas nelpon aku. Dia bilang besok mau ngajak aku ke toko buku…bla..bla..,” kak Diza mulai berceloteh.

Huuuaaah….aku membanting diri dikasur sambil pasang tampang bosan. Kak Diza langsung manyun. Dia menggungcang-guncangkan tubuh ku. “Anya…dengerin dong,”

“Lan, entar kita pinjem novel yuk!” sahut ku girang. Tentu saja girang. Pinjem novel kan cuma alasan aja. Inti nya aku pengin ketemu Revand. Aku kan sudah bilang akan menggantinya hari ini. Haha..

“Boleh. Eh, tapi aku baru beli anjing lho!” kata Wulan menakut-nakuti ku. Aku mencubitnya gemas.

“Ga masalah!” kata ku tenang. Ada-ada saja. Masa tiba-tiba dia beli anjing? Kemarin aja belum ada!

“Seirus??” tanyanya ga yakin. Aku mengangguk.

“Eh, ada yang mau ikut ga?” kataku masih dengan nada riang.

Bhebi mengangguk. Dia orang kedua setelah aku yang ngebet sama Revand. Juli juga mengangguk. Dia sih ikut-ikut saja. Asiikk…!

Aku diam menegang. Wulan , Juli dan Bhebi udah ngakak. Aku memelototi mereka. Tidak ada satu pun yang berusaha menolongku. Untung dirumah Wulan tidak ada orang. Jadi aku tidak usah takut dimarahi. Bagaimana tidak? Sekarang aku sedang berada di atas meja tennis ayah Wulan. Berdiri ketakutan. Karna ada ANJING! Ternyata Wulan serius soal anjing baru nya.

Kan tadi aku udah bilang, aku ada anjing baru dirumah! Kamu ga percaya,” kata Wulan pura-pura tenang tapi tetap sambil cekikikan. Aku menggeram ke arah nya.

“Tapi kamu ga bilang anjing nya segede gambreng begini! Ini sih aku juga masuk ke mulutnya! Kamu ga pengin aku main ke rumah mu lagi ya?” kata ku kesal sekaligus takut. Baru Wulan akan menyahut, aku teriak histeris saat Alin-anjing barunya itu! Nama nya kebagusan!-menggonggong ke arah ku. Mereka ketawa ngakak lagi. Aku ingin menangis rasanya. Mataku tidak lepas dari Alin. Waspada. Siapa tahu dia tiba-tiba melompat naik kesini. Aduuh…

Alin menggonggong lagi. Kali ini lebih keras. Makanya saat aku merasa ada yang mendekatiku, aku langsung melompat ke arahnya. Dan sekarang aku ada didalam gendongannya. Kayak nya sih yang mengendongku ini Juli. Habis badannya besar. Aku ga peduli deh, yang penting aku tidak digigit Alin. Tiba-tiba Alin berjalan kearah ku. Aku semakin mengetatkan pegangan ku dileher Juli. Alin sekarang ada tepat di bawah ku. Mereka masih saja ketawa. Aku mendelik pada mereka. Dan mata ku makin melebar saat menyadari ada July disana. Pandangan ku beralih pada orang yang sedang mengendongku. Dan itu Revand!! Ya Tuhan. Ya Tuhan. Aku memang ingin sekali di gendong Revand. Tapi tidak begini caranya. Ini sih sama saja mempermalukan diri sendiri.

Wulan, July dan Bhebi masih saja ketawa-ketawa. Malah sekarang Bhebi sedang berjongkok menahan sakit di perutnya akibat kebanyakan ketawa. Aku meringis pada Revand. Pegangan ku mengendur otomatis. Bersamaan dengan itu Alin menggonggong lagi dan kali ini diiringi lompatan dan berakhir dengan sebuah gigitan di pantat ku.

“Huuwaaaaaa….!!!”

Aku ingin menangis. Sungguh, ingin sekali. Tapi aku tidak mau tambah mempermalukan diri sendiri. Aku ragu-ragu menatap Revand yang sedang menatapku sambil menahan tawa nya. Tapi dia tidak begitu pintar menyembunyikan tawa nya. Aku masih bisa melihat matanya menyipit karna ketawa. Mata ku beralih pada Wulan, aku menatap nya penuh dendam. Wulan cuma tersenyum merasa bersalah. Bhebi dan July jangan di tanya deh. Setelah tragedy tadi, mereka langsung berlari ke kamar Wulan dan ketawa habis-habisan disana. Alin sudah di masukkan kedalam kandang nya-kenapa tidak dari tadi sih?!.

“Kamu takut sekali sama anjing ya?” Tanya Revand setelah bisa mengendalikan dirinya agar tidak tertawa.

“Kayak nya itu ga usah di tanyain lagi deh,” kataku sebal. Wulan kembali menahan tawa. Sebenarnya bukan sekedar takut. Aku trauma. Waktu kecil aku pernah di kejar anjing bersama teman-teman ku. Saat itu aku pakai rok panjang sekali ala india, jadi susah berlari. Tapi saat itu aku sedikit beruntung karna ternyata yang di kejar itu bukan aku, tapi teman ku. Teman ku itu sampai lari naik ke tangga yang biasa dipakai memanjat pohon kelapa lalu menangis sesenggukan disana. Aku kasihan pada nya. Dan saat itulah terjadi tragedy ini. Anjing besar itu berbalik dan mengejarku. Aku gelagapan. Lari kemana saja. Saat itu aku lari ke rumah tetangga ku menggedor-gedor pintu nya dengan kasar kemudian setelah pemilik rumah membukakan pintu, aku langsung menghambur kedalam dan menutup pintu nya dengan kasar pula. Tetangga ku sampai ketakutan apalagi melihat wajah ku yang pucat pasi seperti mayat-sungguh! Dia sendiri yang bilang bibir ku sampai memutih saking pucat nya!-Dia memberiku air putih yang langsung ku habisakan sampai benar-benar habis. Baru aku menceritakan kejadian itu. Untung nya dia berinisiatif mengantar ku pulang. Sampai dirumah aku baru sadar kalau rok ku sempat tergigit anjing sialan itu. Gara-gara berkibar-kibar diterpa angin. Ditambah rok bagian belakangku melorot sampai celana dalam ku kelihatan setengah. Aku tidak sadar. Saking ketakutannya. Mungkin itu salah satu penyebab aku tidak mau lagi memakai rok. Dan belum trauma itu hilang, kini aku menambah satu trauma yang amat sangat mendalam. Pantatku-digigit-anjing-dalam-pelukan-cowok-yang-aku-sukai-setengah-mati!

“Tenang aja. Anjing nya udah di kurung kok,” kata Revand membuyarkan lamunan tentang masa kecilku. Andai saja dia tau, dia bisa ketawa sampai kepengin pipis.

“Bukan dari tadi aja di kurung nya,” kataku tajam sambil menatap Wulan.

“Ga bisa, Nya. Tadi aku ketawa sampai sakit perut. Ga kuat narik anjing segede Alin,” kata Wulan merasa bersalah.

“Oh gitu. Ketawa aja terus. Seneng ya temen mu ini di gigit anjing,” sindir ku. Revand mengelus punggungku menyuruh ku sabar. Aku-senang-sekali. Bagaimana kalau aku marah sambil teriak-teriak saja? Siapa tau dia akan langsung memelukku untuk menenangkan ku. Haha. Mimpi. Yang ada dia akan lari menjauh. Takut dengan cewek galak.

“Refleks, Nya.” Kata Wulan masih membela diri.

Aku membuang muka kesal. Revand masih terus mengelus punggung ku. Hei, hei. Lama-lama bisa keluar om jin dari mulut ku. Wulan berjalan meninggalkan ku. Aku berdua dengan Revand di ruang tamu.

“Udah ga apa-apa Vand,” kata ku sambil menurunkan tangan nya. Kya! Kya! Aku menggengam tangan nya!

“Mereka cuma bercanda kok. Jangan marah lagi,” kata nya tenang.

“Ya. Aku tau Vand. Mereka memang begitu. Kalau gara-gara hal ini aku marah sama mereka, udah dari dulu aku ga temenan lagi sama mereka.” Canda ku. Revand tertawa mendengarnya. Aku melirik jam. Sudah jam 3.

“Tumben pulang siang, Vand?” Tanya ku iseng. Sedetik kemudian aku menyesali omongan ku. Bisa-bisa dia berpikir aku ini mengurusi urusannya saja. Revand melihat ku dengan tatapan heran. Dia tertawa renyah. Wajah ku merah.

“Ternyata kamu perhatian juga sama aku ya?” godanya membuat wajahku semakin memerah. Aku mengalihkan tatapan ku.

“Ehm…enggak juga sih. Kan aku hampir tiap hari kesini, jadi ya…hafal sendiri,” elakku. Ya ampun. Wajah Revand yang sedang tersenyum geli itu membuatku meleleh.

“Iya. Iya. Cuma bercanda. Tuh, muka mu udah kayak udang rebus.” Revand tertawa sebentar. Menyadari wajah ku tidak juga normal. Dia berhenti tertawa. “Tadi pergi bareng temen. Beli buku untuk tugas.”

Aku mengangguk. Aku baru saja akan bicara saat Bhebi keluar dari sarangnya. Rupanya selain tertawa habis-habisan dia juga dandan habis-habisan. Lihat saja, rambut nya sudah tambah keriting dari sepuluh menit yang lalu. Dan basah. Dia pasti memberinya wet look. Wajahnya juga udah ga berminyak seperti pulang sekolah tadi. Dasar.

“Hai Revand. Kok baru pulang?” Tanya Bhebi sambil duduk disebelah Revand, Revand grogi juga duduk di antara dua cewek kayak gini.

“Baru tadi aku bilang sama Anya. Aku habis beli buku buat tugas.” Katanya mengulang.

“Oh.. udah makan belum?” Tanya Bhebi basa basi. Aku melotot padanya menyuruh nya diam. Tapi Bhebi malah tambah menjadi.

“Ehm, belum sih. Mau makan bareng?” Revand menoleh padaku dan Bhebi. Aku dan Bhebi melongo. Saking senangnya! Aku hampir menyahut saat Bhebi berkata dengan riang nya.

“Mau banget…,”

Aku makan dalam diam. Menikmati saat-saat makan bersama Revand. Ini akan jadi moment terindah ku. Yah, walaupun bukan makan malam romantis dengan lilin remang-remang dan bunga mawar merah. Dan juga bukan berdua. Tapi berLIMA! Berlima dengan sahabat-sahabat ku tentu saja. Juli masih asik ngeotak-atik hape saat kami semua sudah makan. Bunyinya itu lho. Berisik. Tak-tik-tuk-tak-tik-tuk. Lalu menit berikutnya akan berbunyi ‘Jreeeng’. Tanda ada balasan.

“Makan dulu Jul,” kata Revand membuat ku dan July tersentak. Aku kaget karna Revand ternyata perhatian dengan siapapun. Sedang July kaget mendapat perhatian dari cowok seganteng Revand tentu saja. July langsung mengangguk dan melahap makanannya. Kalau kita yang nyuruh, dia pasti akan langsung bilang belum laper.

“Tambah lauk nya, Vand,” kata Bhebi manja. Aku tersedak dan cepat-cepat meneguk minuman ku.

“Heh, harus nya Revand yang bilang kayak gitu ke kamu Bheb. Ini kan rumah nya!” sahut Wulan galak tapi bercanda. Baru aku mau bilang begitu. Pede sekali Bhebi ini. Dia nyengir geli saat menyadari kebenaran kata-kata Wulan.

Kan cuma basa-basi, Lan. Masa ga boleh sih,” katanya masih membela diri.

“Kalau mau basa-basi, harus nya kamu bilang gini,” July menarik nafas dan menegakkan tubuh. “Makanannya enak deh, Vand.” July kembali ke posisi awal. “Gitu!”

Wulan ngakak. “Itu juga Rugi, Jul! Yang masak kan pembantu ku, bukan Revand,” aku dan Bhebi tertawa mendengar jawaban Wulan. July mengkeret ditempat nya.

“Kalo kamu gimana, Nya?” sahut Bhebi tiba-tiba membuat ku grogi. Tatapan mereka semua sekarang tertuju padaku. Aku berpikir sebentar. Kemudian menampakkan wajah lugu.

“Aku senyum aja deh,” kataku sambil tersenyum pada Revand dengan tulus. Detik berikut nya aku menoleh pada mereka minta pendapat.

“Aah, standar banget Nya! Tapi yang paling masuk akal,” Wulan mengacungkan jempol nya padaku. Aku nyengir kuda.

“Ah, curaaang! Anya kan Sutradara, suka bikin naskah! Makanya dia ngerti yang kayak gitu,” Bhebi protes. Dia maunya kita bertiga salah semua. Haha..

“Alah, kalau cuma kayak gitu aja, ga usah jadi sutradara harus nya bisa juga. Itu kan sopan santun dasar!” elak July.

“Halah, kamu tadi juga salah kan jul?” tambahku. Diiringi suara tawa mereka semua. Revand menelan makanannya kemudian tersenyum ramah.

“Kalian kompak banget ya. Aku jadi iri ngeliat nya,”

“Iya donk! Kalau enggak mana bisa kita sahabatan kayak gini. Duduk bareng udah hampir dua tahun. Bisa-bisa kita mati bosen!” Wulan nyerocos sampai sebutir nasi meluncur bebas dari mulut nya. “Hehe…maaf,”

“Heh, kamu tuh. Untung dirumah. Kalau diluar, aku ga mau ngakuin kamu jadi adik ku!” canda Revand.

“Siapa bilang cuma dirumah? Disekolah juga gitu kok. Waktu….aduh!” July mengelus kaki nya yang ditendang Wulan. Revand memandang adiknya gemas.

“Kamu tuh. Makanya kalau makan jangan sambil ngomong…,” selesai berkata begitu, sebutir nasi ikut keluar dari mulut Revand. Kami semua terdiam dua detik sebelum tertawa ngakak habis-habisan.

Baru kali ini aku menanti-nantikan sesi curhat kak Diza. Karna aku juga pengin cerita sama kak Diza soal tadi siang. Biarpun memalukan tapi aku senang setengah mati. Kak Diza masih sibuk menyeterika baju sambil nonton TV. Udah deh, aku samperin aja. Aku cerita aja. Dia kan cukup dengerin aja sambil nyeterika. Aku berlari menghampiri kak Diza yang sibuk menggosok-gosok baju nya.

“Kak, aku mau curhat nih!” kata ku riang. Kak Diza menoleh sebentar, kemudian meneruskan pekerjaannya.

“Soal Revand?” kata kak Diza. Aku mencubitnya gemas sambil tolah-toleh siapa tau ada orang yang berkeliaran disekitar kami. Kak Diza mengaduh sambil menggosok-gosok lengannya.

“Apa sih?”

“Ibu mana?”

“Lagi masak-masak dirumah tetangga,”

Hufh… “Kak,tadi aku ketemu Revand,”

“Dimana?”

“Dirumahnya,”

Kak Diza ngakak. “Kalau dirumahnya sih ga aneh. Kalau kamu ketemu di kebun binatang, atau di pasar, baru heboh,”

“Iiihh…serius tau,” kata ku sebal.

“Iya, iya. Kakak udah serius nih,” kak Diza pasang tampang serius yang dibuat-buat. Bikin aku semakin gemas.

Lalu aku mulai menceritakan kejadian tadi siang yang membuatku trauma mendalam. Tapi tentu saja minus nasi muncrat itu. Kak Diza cuma ketawa-ketawa aja sambil terus menyeterika. Tiba-tiba dia meletakkan seterika nya dan menatapku serius.

“Kamu cerita ga soal masa kecil kamu yang dikejar anjing itu?” tiba-tiba wajah kak Diza berubah jail. “Kalau kamu cerita, dia pasti ngakak-ngakak sambil kebelet pipis. Huahaha…aduh,aduh,” kak Diza joget-joget geli saat aku menggelitikinya.

Tiba-tiba tangan kak Diza menyenggol seterika yang tadi dia letakan sampai terjatuh kelantai dan menimbulkan bunyi ‘gedebuak’ yang keras banget. Saat itu tiba-tiba saja Ibu masuk dari depan sambil memegang pisau ditangannya. Aku dan kak Diza langsung diam seribu bahasa.

“Kalian itu, kalau lagi kerja jangan main-main. Untung jatuhnya di lantai, kalau di kaki kalian gimana? Terus kaki kalian…bla..bla..,” aku melilit-lilitkan baju dengan gemas. Kak Diza terus saja menggosok-gosok bajunya sampai berasap. Ibu ini, habis masak apa ga capek? Pulang-pulang kok langsung ngomel?

“Terus dia minta pendapat ku. Yang ini bagus ga?” kak Diza menggerakkan tangannya seolah di tangannya benar-benar ada buku.

“Ya ampun, dia milih buku udah kayak milih baju.” Komentar ku asal-asalan.

“Ah, kalau itu sih aku ga peduli. Yang penting dia nganggep aku ada disana.” Kak Diza nyengir sambil menatap langit-langit. Seolah ada bayangan mereka berdua disana.

“Terus?”

“Ya, terus aku bilang aja gini, ‘Yang ini kayak nya lebih bagus deh’” wajah kak Diza dibuat semeyakinkan mungkin. Aku hampir tertawa.

“Emang nya beneran bagus?” Tanya ku geli membayangkan apa jawaban kak Diza.

“Enggak tau!” seru nya diiringi suara tawa kami berdua.

“Jahat banget kakak nih!” kata ku disela-sela tawaku.

“Ya habis nya, aku kan juga belum baca. Mana aku tau. Aku kira-kira aja. Aku lirik dulu harga nya, yang mahal, berarti itu yang bagus! Haha…,” kak Diza tertawa lagi.

“Bener juga sih. Hebat kak Diza bisa mikir cepet kayak gitu. Kalau aku pasti udah nganga-ngungu ga jelas deh,” aku membayangkan saat aku berduaan dengan Revand.

“Ah, biasa aja,” jawab nya sok malu-malu. Aku makin cekikikan.

Tiba-tiba terdengar suara langkah. Aku menyuruh kak Diza diam. Dan benar saja, suara langkah itu semakin mendekat. Kemudian kenop pintu bergerak turun dengan sendiri nya. Aku dan kak Diza mengambil langkah seribu. Bukan kabur! Tapi pura-pura tidur!

“Jangan ribut! Udah malem. Tidur kalian,” terdengar suara galak ibu setengah ngantuk. Aku dan kak Diza menghela nafas pelan-pelan seolah berkata. “Untung saja,”

“Ayo Pak. Buatin surat donk! Anya mau cek darah nih,” kata ku sambil mengigit roti susu cokelat ku. Bapak masih sibuk dengan berita di TV. Ibu keluar dari dapur membawa sepiring nasi goreng. Aku menghela nafas pasrah.

“Buat apa sih cek darah?” kata Ibu ku dengan nada menuntut.

“Ibu ga liat nih!” kata ku sambil menunjukkan bekas gatal-gatal ditangan ku. Belakangan ini aku sering terkena gatal-gatal sejak pulang dari Jogja. Entah kenapa setiap aku pulang dari Jogja, tangan dan kaki ku selalu bentol-bentol gatal luar biasa. Aku takut nya ada yang ga beres, missal nya aku alergi udara disana atau apalah. Yang jelas aku ga mau tidur ku terganggu gara-gara rasa gatal ini.

“Itu paling-paling alergi cokelat,” kata Ibu keukeh. Aku mendengus lagi. Selalu aja begitu yang ibu bilang. Memang sih ini salah ku juga karna aku serakah. Waktu berangkat ke Jojga, Ibu ku membeli cokelat Chunky yang isi nya sebelas potong-bukan promosi lho. Waktu itu aku lagi pengin banget makan cokelat. Jadi aku makan sendiri satu batang gede itu. Alhasil nyampe ke Jogja, tangan dan kaki ku langsung bentol-bentol. Ibu yang jengkel karna ga kebagian cokelat itu, langsung memvonis ku alergi cokelat dan tidak mengijinkanku makan cokelat lagi. Itu salah satu alasan kenapa aku pengin sekali cek darah. Aku ga mau alergi cokelat! I love chocolate!

Tapi ada satu hal yang buat aku mutusin hari ini harus cek darah. Itu karna Wulan juga operasi. Akhirnya! Dan dia ga berani operasi sendirian. Emang sih ada ayah nya yang jagain. Tapi dia penginnya kita bertiga ada disana juga ikut jagain. Jadi kita bertiga niat nya mau membolos. Aku dengan alasan cek darah-yah, emang sekalian sih, jadi tidak bisa di bilang bolos 100%- lalu Bhebi bilang nenek nya meninggal. Eh, bukannya kualat lho, nenek nya memang meninggal, tapi itu sebulan yang lalu! Hehe..jadi dia juga tidak bohong. Lalu July dengan senang hati dia bilang ga bisa ikut. Karna hari itu ada pelajaran biologi yang benar-benar tidak bisa ia tinggalkan. Bukan karna suka, tapi karna dia lemah setengah mati di pelajaran biologi.

Oh ya satu lagi. Hari ini ada pertandingan soft ball di lapangan Renon. Kebetulan salah seorang teman sekelas ku, Erika-tapi biasa dipanggil Jepank, karna dia memang orang Jepang-menjadi pemain inti. Jadi rencana nya kita mau ke sana setelah menunggui Wulan operasi.

“Ya udah. Sini bawa kertas nya.” Kata Bapak sambil mengecilkan volume TV. Aku melonjak girang dalam hati. Yes, yes. Aku paling benci pelajaran Biologi. Odah-panggilan sayang untuk bu Sri-tidak bisa diam kalau melihat ku. Penginnya nunjuk saja. Aku paling malas kalau ditunjuk untuk mengerjakan soal darinya. Dia rese. Suka ngecoh-ngecoh aku kalau sedang mengerjakan soal di papan. Aku kan ga jago-jago amat. Jadi pusing juga.

“Bhebi, entar jadi ga?” kata ku riang.

“Ga tau deh,” katanya tiba-tiba membuat ku menurunkan ujung bibir ku.

“Kok?”

“Gimana ya? Hari ini banyak banget yang bolos buat nonton Jepank. Aku takutr guru-guru pada curiga,” kata nya lemas.

“Iya juga sih.” Aku berpikir sebentar. Kalau Bhebi ga ikut aku juga ga jadi deh. Daripada harus ke rumah sakit sendirian. Duh, mikirinnya aja bikin perut mulas. Oh ya, aku lupa bilang-mudah-mudahan kalian ga lupa kalau aku pelupa-aku paling anti dengan rumah sakit. Lutut ku gemetaran dan perut ku rasa nya mulas bukan main. Kalau ketemu kasur, aku bisa langsung pingsan deh.

Waktu itu aku pernah diajak Bhebi ke rumah sakit untuk menjenguk pacarnya yang masuk rumah sakit. Nama nya Deni. Suara Bhebi sedih sekali. Apalagi katanya Deni itu kecelakaan sampai parah banget, aku kan ga tega juga. Akhirnya aku memberanikan diri menemaninya. Dan ternyata, Deni itu bukan sedang di kamar rawat inap, tapi di UGD! UGD! Ya ampun. Aku mau pingsan rasa nya. Disana itu kan daerah yang paling mengerikan. Orang-orang yang masih berdarah-darah, teriak-teriak kesakitan, kereta mondar-mandir, suasana tegang dan haru. Duh…bikin perut mual deh. Rasa nya energi ku kesedot semua.

Akhirnya aku menundukkan kepala dibahu Bhebi selama di UGD. Dan parah nya, kita tidak menemukan Deni disana. Bhebi menelpon untuk memastikan Deni masih ada disana. Ternyata kamar nya yang paling ujung. Ya ampun. Kita harus masuk lagi. Yang kedua ini lebih seram, soalnya Bhebi berkata begini saat ada kereta lewat.

“Jangan lihat , Nya. Orang nya masih berdarah-darah di hidung dan mulut nya,”

Rasanya saat itu aku pengin mencekik Bhebi. Kalau sudah tau begitu jangan diceritakan donk!

Dan saat bertemu Deni, mau tidak mau aku harus mengangkat wajah. Karna disana banyak keluarga nya. Kan tidak enak kalau menjenguk tapi ga mau melihat orang nya. Dan yang kulihat adalah wajah lebam dengan selang-selang mencuat dikepala nya! Hiii….

Aku memegang perut ku yang mulai mulas. Padahal aku cuma mengingat nya.

“Wulan bilang, dia sudah ada di rumah sakit. Tinggal nunggu operasi,” Bhebi membuyarkan lamunan ku.

“Terus gimana? Kamu jadi ikut ga?” kata ku sedikit berharap.

“Hmm…,” Bhebi menimbang-nimbang.

“Kalau kamu ga ikut, aku juga enggak deh. Kamu tau kan, aku ga bisa ke rumah sakit sendiri,” aku menggoyang-goyangkan surat ijin didepan wajah ku. Kalau ga jadi, rugi juga mohon-mohon dibikinin surat sama Bapak.

“Eh, jangan. Nanti Wulan ga ada yang nemenin,” kata Bhebi sedikit panic.

Kami menoleh pada July yang sibuk menyalin peer. “Kamu ikut ya, Jul,”

July mendongak sambil memasang wajah protes. “Ga ah. Rugi dong aku udah nyalin peer segini banyak dari Odah! Lagian kalian tau kan kalau aku mau jadi perawat, jadi harus belajar biologi dengan giat!” katanya mantap kemudian meneruskan menyalin peer. Aku dan Bhebi tertawa geli. Atlit basket kok banting stir jadi perawat! Jauh banget ga sih!

“Yaudah deh. Aku ikut. Duh, kualat deh aku,” kata Bhebi mengingat alasannya.

Akhir nya saat mendekati jam-jam istirahat, aku dan Bhebi minta ijin. Pertama Bhebi minta ijin pada Odah dengan pasang tampang sedih. Karna alasannya kan neneknya meninggal, jadi harus sedih dong. Dengan polosnya Odah langsung memberikan ijin dengan wajah simpati. Keluar dari kelas, Bhebi langsung meng-sms ku. Dia bilang merasa bersalah melihat wajah Odah.

Kemudian berselang beberapa menit, aku bangkit juga. Diiringi suara jail-jail cowok-cowok yang sudah curiga dengan ku. Aku memberi isarat supaya mereka diam. Beberapa cowok-cowok masih asik menggoda ku. Untung aku anak teater, jadi sedikit berguna lah pelajaran acting ku.

“Wooo, teaternya keluar..!” sorak Casper yang duduk bersebrangan dengan ku. Aku mendelik pada nya. Kemudian perpaling pada Odah dan memasang tampang orang penyakitan. Teman-teman sekelas pada mencibir. Aku nyaris tertawa saat Odah sempat menghawatirkan keadaan ku. Aku hanya mengagguk dan bilang tidak apa-apa. Akhirnya aku berhasil keluar kelas.

Aku dan Bhebi langsung menuju rumah sakit. Takut-takut operasi sudah dimulai. Sampai di rumah sakit, aku menelpon Wulan.

“Lan, kamu dimana?” aku menghela nafas saat Wulan mengangkat hape, berarti operasinya belum dimulai.

“Aku di gedung lama,” kata Wulan membuatku memebri isarat pada Bhebi supaya berjalan ke gedung lama. Aku hanya sanggup memegangi lengan Bhebi mengikuti langkahnya.

“Belum mulai operasi kan?”

“Ga jadi hari ini,”

“Apaa??!” teriakku kaget. Bhebi langsung mencubit lengan ku gemas.

“Kita ini di rumah sakit, bukan di tempat konser! Jangan teriak-teriak!” bisik Bhebi.

“Wulan ga jadi operasi hari ini,” ulang ku.

“Hah??!” teriakan Bhebi bahkan lebih nyaring dari teriakan ku. Aku langusng menutup mulut nya. Bhebi berkata tanpa suara, “Rugi dong,”

Setelah bertemu dengan Wulan, kita ngomel habis-habisan. Kok malah ditunda lagi? Aku kan belum tentu dapat ijin lagi. Masa aku bilang mau cek darah dua kali? Apalagi Bhebi, masa nenek nya meninggal lagi? Bisa jadi anak durhaka dia. Setelah capek mengomeli Wulan, akhirnya aku meminta Bhebi menemani ku cek darah. Dan apa yang ku dapat? Tidak ada. Susternya bilang, kalau mau cek darah, harus ada surat rujukan dari puskesmas. Sedangkan aku belum minta surat rujukan itu. Aku dan Bhebi memohon-mohon pada susternya agar mengijinkan ku cek darah dengan alasan rumah kita jauh, jadi mungkin tidak bias kembali lagi kesini saking jauh nya. Tapi tetap tidak menghasilkan apa-apa.

“Kayak nya kita beneran kualat deh sama Odah.” Kata Bhebi hampir tertawa.

“Iya. Kita rugi semua nya nih.”

“Eh, belum,” Bhebi seperti teringat sesuatu. “Kita nonton Jepank,”

“Re’sman! Re’sman! Go! Go!” teriak kami para supporter Re’sman. Re’sman itu singkatan dari SMAN 2 Denpasar. Wajah Jepank udah kemerahan ga jelas. Kulitnya sensitive sekali dengan sinar matahari. Merah seperti mau meledak. Kalau dia malu, langsung ketahuan. Soalnya wajah nya juga ikut memerah. Apalagi kalau dia menangis, wuih…darahnya langsung mengumpul di muka. Heran, kok bisa jadi atlit softball. Dulu aku pernah dengan bodoh nya bertanya pada Jepank, “Kenapa ga di lapangan tertutup aja ya? Kayak basket gitu.” Lalu dia menjawab dengan kesal. “Boleh, nanti kalau home run, terus bolanya nyangkut di atap, kamu yang aku suruh ambil,”

Benar juga ya.

Aku dan teman-teman berkumpul dibawah pohon. Padahal jelas sekali pohon itu tidak bisa menutupi kita karna besar nya tidak sampai sebesar orang dewasa. Tapi kita semua duduk bersila dengan kepala yang dimiringkan kepohon. Yang penting kepala nya tidak kepanasan. Muka kan aset buat ngeceng.

Novi alias Opec, berdiri paling depan dengan payung merah besar menutupi nya. Beberapa orang ikut berdesak-desakan disana. Tapi hanya muat beberapa orang saja. Wong, Opec itu besar badannya tiga kali besar badan ku. Suaranya yang cempreng berteriak-teriak semangat. Bhebi duduk dibelakang sambil smsan. Dia itu sempat-sempat nya sambil teriak-sambil sms. Emangnya bisa ya? Disebelah ku ada Ana. Dia tadi minta ijin untuk mengantar Ani kerumah sakit-yang penyakit usus buntunya kambuh. Ani memang sakit usus buntu, saat lagi kesakitan aja dia sempat-sempat nya nonton pertandingan. Kalau Ana sih hanya menjadikannya tameng saja.

Lagi asik-asik nya nonton, tiba-tiba aku melihat ada beberapa gerombol anak-anak OSIS sekolahku yang dateng. Asiiik.. ada konsumsi tidak ya? Aku menyambar Mountea-bukan iklan juga-yang di sodorkan Ana padaku. Capek juga teriak-teriak. Setelah menegak habis minuman, aku dan Ana kembali teriak-teriak dalam duduk.

“Lho kamu kok disini?” aku dan Ana menoleh berbarengan mendengar suara familiar itu. Wajah kami memucat.

OH-MY-GOD!

ODAH!! Kami saling pandang tapi tidak ada suara yang keluar. Aku melirik Bhebi yang duduk dibelakang ku, dia udah ngacir jauh-jauh sambil ketawa-ketawa geli.

Aduh, mampus deh aku! Aku menggigit bibir bawah ku sambil mengalihkan wajah kedepan. Berdoa semoga dia tidak melihat ku. Tapi mana mungkin sih? Walaupun dia tidak pakai kaca mata sekalipun, kalau jarak nya sedekat ini, pasti dia lihat. Aku melihat Opec berlari dengan gaya menyamping mengabaikan orang-orang dibawah payung nya yang protes karna kepanasan. Dia menutupi tubuh nya dengan payung besar itu. Sial. Aku dan Ana yang terperangkap disini!

“Kata nya kamu nganter Ani ke rumah sakit?” tanya Odah lagi.

Ana gelagapan. Ani yang merasa namanya nya disebut, menoleh. Seketika dia langsung kabur begitu melihat wajah Odah.

“Udah bu. Saya kan…cuma nganter. Jadi..ehm, bisa ke sini dulu. Gitu bu,” kata Ana. Odah tertawa maklum seperti tau kalau Ana berbohong. Dan sekarang dia menatap ku.

“Lho kamu?”

“Saya juga udah cek darah kok, Bu. Ini habis dari rumah sakit langsung kesini. Bener deh, Bu,” kata ku sambil mengangkat jari telunjuk dan tengah ku ke atas. Aduh, bodoh sekali. Orang yang gugup karna berbohong memang suka melakukan hal-hal bodoh. Buat apa aku ngomong kayak gitu. Malah bikin dia semakin yakin kalau aku bohong. Setelah berkata begitu aku langsung lari! Berkumpul dengan teman-teman yang udah ngabur dari tadi. Ana ikut di belakang ku meninggalkan Odah yang masih bingung.

“Hahaha…,” kami semua tertawa berbarengan. Sambil sesekali melirik Odah yang asik berteriak jadi supporter.

“Tega benget kamu Bheb. Ga ngasih tau kita,” kataku kesal campur ketawa.

“Ya ampun. Aku aja kaget, tiba-tiba dia nongol gitu aja. Ga sempet teriak. Eh, kalian udah disapa duluan! Hahaha …,” Bhebi ketawa ngakak sambil berlindung di bawah pohon.

Opec langsung dapet bahan ejekan. “Ih Bheb, kamu kayak kuntilanak! Ketawa ngikik gitu dibawah pohon!” kami semua tertawa lagi. Bhebi langusng cemberut. Emang bener. Mendukung banget! Rambutnya yang keriting panjang sampai pinggang itu lho, belum lagi suara nya yang cempreng kalau ketawa. Hiii..

“Eh, jangan berisik ah. Entar Odah mergokin kita disini,” kata Ana berbisik sambil memasang mata ke Odah. Odah ada bermeter-meter dari kita.

“Tenang aja lagi. Dia kan ga pake kaca mata!” sahut ku diiringi suara tawa mereka. Emang bener, dia itu ga bisa ngeliat tanpa kaca mata. Waktu dikelas dulu, pernah ada kejadian lucu. Odah menyuruh Wisnu maju mengerjakan soal gara-gara Wisnu tertidur di kelas. Dia dengan tampang ngatuk-ngantuk, Wisnu maju kekelas dan mengerjakan asal-asalan. Odah mengoreksinya dengan seksama.

“Ini salah. Harusnya hasilnya 1, kok kamu malah 4. Dapet dari mana angka empat ini?” Tanya nya galak. Odah tertawa meremehkan sambil menatap kami semua. Wisnu mengambil kesempatan ini untuk menghapus bagian depan angka 4, sehingga yang tersisa cuma garis yang membentuk angka satu.

“Ini angka 1 kok, Bu,” kata Wisnu sok protes. Kami semua menahan tawa.

Odah berpaling ke papan sambil menajamkan matanya. Lalu dia tertawa geli, “Oh iya. Ini angka satu ya? Maaf, maaf. Saya tidak pakai kaca mata,” seisi kelas langusng mengeluarkan gelak tawa mereka. Dan ironis nya dia mengira kita menertawkan kesalahnnya. Padahal kita menertawakan dia yang di bodoh-bodohi Wisnu. Wisnu berjalan santai ke bangkunya lalu kembali mengambil posisi tidur.

Selain dia bermasalah dengan mata, dia juga agak pikun. Saat jam pelajaran terakhir, Odah minta ijin pada guru yang sedang mengajar di kelas kami untuk menyampaikan pengumuman. Semua anak-anak mencibir. Masih kesal karna tadi pagi ada ulangan biologi dan kita tidak bisa mengerjakan soal-soal keramat.

“Besok jangan lupa kalian ulangan ya,” kata nya santai. Kami semua kaget setengah mati. Langsung terdengar bisik-bisik protes.

“Lho? Tadi kan kita baru aja ulangan. Masa ulangan lagi?!”

“Remidi kali,”

“Emang nya besok ada pelajaran Biologi ya?”

“Kayak nya enggak deh,”

Benar juga. Ini kan hari terakhir ada Biologi di minggu ini.

“Bu, tadi kan kita udah ulangan. Kok ulangan lagi,” protes Casper diiringi anggukan teman-teman sekelas.

Odah diam sebentar, “Oh. Udah ya? Berarti saya salah masuk kelas. Harus nya kelas sebelah,” Odah tertawa. Kami semua jelas saja langsung ngakak. Cowok-cowok juga menambahkan umpatan-umpatan untuk Odah.

“Nenek, nenek,” kata Wisnu sambil geleng-geleng kepala.

“Bentar lagi pensiun nih kayak nya,” kata Aik.

Odah pamit keluar. Tiba-tiba aku teringat.

“Eh, eh,” anak bangku belakang langsung menoleh mendengar panggilan ku. Kepala mereka mendekat. “Bukannya kelas sebelah kalau ulangan selalu bareng sama kelas kita?” Tanya ku. Belum sempat ada yang menjawab pertanyaan ku, terdengar suara tawa dari kelas sebelah. Mau tidak mau kami semua ikut tertawa. Odah salah masuk kelas lagi.

Pertandingan soft ball berlangsung seru. Awalnya kami pesimis akan menang, karna skor nya terpaut jauh sekali. Sepuluh angka. Tapi begitu giliran tim kami yang bermain, mereka langsung bisa mengejar ketinggalan. Ternyata gara-gara kami jaga, makanya nilai untuk mereka terus bertambah. Akhir nya kami menang dengan skor 15-13 untuk Re’sman.

“Wulan!!” seru aku dan Bhebi berbarengan. Sehabis menonton Jepank, kami langsung menuju rumah Wulan yang dekat dengan lapangan Renon. Sekalian jenguk-sebenarnya sih enggak. Wulan kan belum operasi. Hehe.. kita mau ketemu Revand lah! Tak lama Wulan keluar sambil mengelus-elus anjing nya. Melihat ku, dia langsung memasukkan Alin kekandang dan memcuci tangan. Baguslah dia sudah mulai mengerti.

“Gimana soft ball nya?” Tanya Wulan sambil membuka gerbang.

“Menang dong!” sahutku dan Bhebi kompak.

“Menangis maksudnya?” Wulan tertawa geli.

Bhebi mendengus. “Menang! Beneran menang! Win! Re’sman the Winner!” kata nya menjelaskan. Wulan mengangguk-angguk percaya.

“Revand mana?” Tanya Bhebi semangat. Kadang aku beruntung punya teman secerewet Bhebi. Dia bisa mengutarakan apa yang tidak bisa kuutarakan.

“Belum pulang. Paling bentar lagi.” Wulan tersentak. “Jadi kalian kesini cuma nyari Revand??”

“Lho baru sadar mbak?” canda ku.

Bhebi tertawa melihat wajah Wulan yang manyun. “Ga ding. Becanda,” tambah ku. Lalu kami berdua mulai cerita tentang kejadian kepergok bolos oleh Odah tadi di Renon. Wulan ketawa-ketawa setengah tidak percaya.

Saat Wulan masih asik ketawa, Revand datang. Aku langsung deg-degan. Bhebi seperti biasa melompat ke wastafel dan membersihkan wajah. Aku juga ikut-ikutan. Dengan alasan mau cuci muka. Sekalian biar bersih. Saat aku ngaca, aku kaget bukan main. Kulit ku langsung hitam. Tidak hitam-hitam amat sih. Tapi yang jelas bertambah hitam lah. Yah, ga heran juga sebenarnya. Siang bolong gitu mainnya. Jam 12 aja baru mulai. Udah kayak kesetanan aja.

Tapi ini kan lain. Aku kan mau ketemu dengan Revand, masa kulit ku hitam gini. Kalau Bhebi sih ga masalah. Dia kan emang berkulit hitam mengkilat, jadi bertambah hitam sedikit ga masalah. Tapi aku yang berkulit sawo matang, kelihatan sekali.

“Kulit ku tambah hitam ya Bheb,” aku meneliti lenganku yang ikutan belang.

“Ya ampun. Iya, Nya. Kalau aku sih, jadi tambah seksi,” kata nya sambil meliuk-liukkan badan. Tepat saat itu, Revand masuk. Dia tertawa melihat tingkah Bhebi. Aku langsung bersemu melihat tawa Revand.

“Lagi ngapain Bheb? Mau jadi inul ke dua?”

Bhebi ketawa malu-malu. “Enggak lah. Sejak kapan inul jadi cantik begini,” kata nya narsis. Aku langsung menoyor kepalanya ke depan. Bhebi ingin mem-balas, tapi aku langung ngacir ke kamar Wulan dan menutup pintu nya. Tepat saat itu Wulan dan Revand berteriak histeris.

“Jangan ke sana, Nya!!”

Terlambat. Aku sudah masuk kamar Wulan. Aku juga terlambat menyadari ada Anjing sangat besar-lebih besar dari Alin-yang duduk didepan ku dengan lidah menjulur.

“Wulaaaaaan…!!”

Aku menutup wajah ku dengan bantal. Mengingat kejadian tadi membuat ku malu sekali. Tadi, begitu aku menyadari ada anjing baru milik Wulan-nama nya Clausie-aku langsung membuka pintu, menabrak Bhebi sampai terjengkang, dan berlari keluar. Belum aku sampai ke depan pintu, Revand mengamit lengan ku, kemudian dalam satu gerakan, Revand menggendongku lagi seperti kemarin. Tapi tentu saja tidak di gigit lagi. Revand langsung menghadang Clausie dengan sebelah kaki nya lalu berteriak pada Wulan untuk memasukkannya ke kandang. Dan aku, aku menangis di gendongan Revand! Memalukan! Menangis sesenggukan pula! Setelah itu aku langsung pamit pulang. Aku sudah cukup malu.

Oh iya, aku juga baru tau dari Wulan kalau tulisan nya Alin itu ALINE bukan ALIN. Harus ya? Orang-orang juga ga ada yang tau.

Aku keluar rumah dengan lesu. Masih dengan bantal di pelukanku, aku mengelus Nicil. Kepala nya digosok-gosokkan ke kaki ku. Nanti aku pasti mengganti sarung bantal nya. Aku meletakkan kepala ku di bantal. Dengan malas-malasan aku membuka hape ku yang bergetar.

1 New Message

X. Lan Nyem

Eh,.

D tnyain ma Revand,.

Uda bae’an?

He, .

Mataku terbelalak. Revand? Dia kawatir? Atau perhatian? Aku langsung berdiri dan jejingkraan masuk kedalam rumah. Aku segera membalas sms Wulan.

To: X. Lan Nyem

Blg mksh ma Revand,

Aq da bae’an. N jgn prnh msukin guguk k kmr!

Aq g mw lmpt ke gndgan revand lgi! Aq maluuu!!

Sending.

Jantung ku berdetak kencang. Aduh…memikirkan Revand perhatian padaku saja sudah membuat ku senang setengah mati. Tapi kalau Revand kayak gitu, aku mau deh di kejar anjing lagi. Terus Revand menggendong ku lagi hii… Balasan dari Wulan.

Hi, Nya! Vand nih,

Sori td aq lgsg gndg kmu.

Hbs aq tkt kmu dgi2t ma Clausie,

Huwaa… ini Revand yang sms! Secepat kilat ku balas. Aku ga mau dia nunggu lama-lama sampai bete dan ga mau sms aku lagi!

Gpp lg Vand. Aq mlh thx bgd.

Klo ga, mgkn aq da d gigit lgi,

Maav klo aq brat,

Y ampn. Ga koq. Kmu ringn.

Mka ny aq mw gndg. Klo kmu gambreng, aq mkir 2x

d.. hehe =D

Oh iya, aku lupa kalau aku ini kurus. Revand kan badannya besar banget. Yah…ga besar banget sih. Atletis gitu deh. Ideal pokok nya. Selama setengah jam aku dan Revand bersmsan. Itu pun karna Wulan mencak-mencak pulsa nya mau habis. Revand lagi bokek. Ga punya pulsa. Hah…Wulan itu ganggu aja sih!

Aku memperhatikan wajah kak Diza yang lesu. Tumben dia ga bersemangat. Biasanya malem-malem gini dia paling semangat bercerita. Berkali-kali dia mengganti cannel TV. Mata nya lurus ke depan. Entah melihat atau tidak. Aku menggerakkan bantal menutupi pandangannnya ke TV lalu menariknya lagi. Menutup. Menarik. Menututp. Menarik.

“Apaan sih, Nya?” protes kak Diza sambil menepiskan bantal sampai mental ke atas meja. Aku terkikik. Kak Diza makin melotot.

“Kenapa sih kak?” aku menggeser duduk ku mendekati kak Diza. Ibu ada di radius lima meter sih. Nanti bisa kedengaran.

“Sial tiga belas deh!” kata kak Diza membuat ku tersenyum geli makin penasaran.

“Apa? Apa? Cepetan dong cerita.” Desakku.

“Tadi aku ngajak Bagas pergi. Tapi dia bilang dia ga bisa. Katanya mau ketemu seseorang. Haduuuh…,” kak Diza membenamkan kepala nya ke bantal. Aku tidak menangkap apapun yang disebut kesialan.

“Terus? Siapa tau dia memang menemui seseorang?”

“Itu yang aku takutin, Nya! Berarti ada orang yang lebih penting dari aku. Itu berarti ada kemungkinan dia lagi naksir cewek atau punya pacar. Ya kan?” kak Diza membanting bantal yang dipegangnya ke pangkuanku. Aku sampai berkedip karna kaget.

“Siapa tau bukan cewek, tapi ibu nya, nenek nya, bapakkya, atau keluarganya yang lain. Positive thinking lah,” kata ku sok tua.

Kak Diza menyipitkan mata. “Kayaknya ga mungkin deh. Kalau dia ada urusan sama keluarga, pasti dia bilang. Ga kayak biasanya,” kak Diza mulai mengigiti jari telunjuknya.

“Yah…siapa tau aja…,”

“Kamu itu! Siapa tau-siapa tau aja dari tadi!” kata kak Diza kesal sambil menepuk kepala ku dengan bantal.

Aku tertawa geli. “Nama nya juga siapa tau. Bisa bener, bisa enggak.”

“Siapa tau juga, semua ‘siapa tau’mu itu terjadi kebalikannya? Gimana?” kak Diza geregetan. Aku makin tertawa geli melhat wajah nya yang panic.

“Ya…wassalam deh,” goda ku. Kak Diza melotot lalu menggelitikiku sampai aku minta ampun.

“Sekarang giliran aku yang cerita ya,” aku mengubah posisi dudukku lebih nyaman. Alis kak Diza masih bertaut karna kesal. Aku menahan diri supaya tidak tertawa lagi. Begitu aku ceritakan, kak Diza bukannya tertawa seperti kemarin, tapi malah diam menatapku.

“Kak, kok ga ada respon sih?” aku mencubit lengannya. Aku sudah cerita dengan sepenuh hati, tapi dia nya malah adem-adem aja.

“Itu masih mending, Nya. Berarti kamu ada harapan. Dia masih peduli sama kamu. Dia pengin ngelindungin kamu. Dia inget kamu takut anjing. Itu artinya dia perhatian sama kamu. Selamat deh,” kata kak Diza lemas. Aku melongo mendengar nya. Aku ga kepikiran tuh sampai kesana. Aku cuma berpikir kalau yang kulakukan adalah hal yang memalukan. Yang bakal terus diinget sama Revand. Yang bikin aku berpikir ga akan ke rumah Wulan lagi.

“Kakak nih, udah kayak mahasiswa psikologi aja. Eh, tapi bukannya itu malah bikin dia ilfil sama aku ya kak?” aku menurunkan volume suaraku karna melihat ibu mendekat. Aku mencubit kak Diza saat akan menjawab bersamaan dengan Ibu yang semakin dekat. Kami langsung mengambil posisi duduk menghadap ke depan. Pura-pura sibuk nonton TV.

Aku menatap senyum mengembang ku di cermin. Memasang senyum-senyum terbaikku. Kalian tau kenapa? Hah? Tau tidak? Aku-diajak-jalan-jalan-oleh-Revand!! Yippy!! Semalam Revand meneleponku, dia bilang pulang sekolah nanti dia akan mengajak ku jalan-jalan. Sekalian menemani nya membeli buku. Tadi malam aku senang sekali melihat wajah penasaran kak Diza saat aku tidak mengijinkannya mendengar suara Revand. Kak Diza ngotot supaya aku me-loudspeakers nya. Dan aku juga ngotot tidak me-loudspeakers nya. Hahaha. Biar tau rasa dia. Begitulah rasa penasaranku pada Bagas.

“Hai, hai.” Sapa ku riang pada Juli.

Juli memasang tampang mengejek. “Kepala mu kebentur ya? Jadi sinting gitu?”

Aku anggap itu pujian. Aku masih tersenyum sampai Juli gerah sendiri untuk bertanya.

“Kenapa sih?” haha. Dia penasaran juga. Bilang tidak ya?

“Ehm..,” aku pura-pura menimbang-nimbang sehingga menbuat Juli makin penasaran. Aku tertawa melihat wajah manyunnya.

“Baik sodara-sodara, dengarkanlah kabar baik yang akan saya sampaikan ini. Saya berharap dengan…,” Juli menoyor kepalaku. Aku tertawa.

“Belakangan aja deh sambutannya. Langsung ke inti.” Protesnya.

Baru saja aku akan memulai ceritanya, pandangan Juli beralih kebelakang. Aku ikut menoleh kebelakang mengikuti pandangannya. Wulan berjalan dengan wajah manyun, sedang Bhebi dibelakangnnya menebar senyum sampai semua anak dikelas kebagian bunga-bunganya yang beterbangan.

“Kenapa Lan?” Tanya ku spontan. Wulan makin manyun.

“Siapa yang mau Jalan sama cowok ganteng??” pancing Bhebi.

“Aku, aku!” Juli mengangkat tangannya dengan konyol. Bhebi langsung ngikik.

“Cepet banget mulut mu kalau udah soal cowok ganteng, Jul,” aku mencibir.

“Eh, siapa?” Juli menarik Bhebi sampai terduduk.

“Kamu mau ikut ga?” Bhebi mengulur waktu menawari ku. Aku menggeleng. Tentu saja. Nanti kan aku mau jalan-jalan sama Revand-ku. Cowok ganteng mana pun kalah deh sama dia. Ketutupan ganteng nya.

“Serius?” aku mengangguk. “Revand lho?” aku hendak mengangguk lagi. Mata ku melebar. Apa maksud nya? Revand kan

“Revand kakak nya Wulan,” Bhebi meyakinkan ku saat melihat tampang heran ku. Tunggu, tunggu. Ada yang salah nih.

“Dia ngajak kita jalan?”

“Iya dong! Secara ada Bhebi yang sexy ini,” Bhebi membuka ikatan rambut nya kemudian mengibas-ibaskan rambut keriting panjangnya kesegala arah dengan tampang sensual menjijikkan. Kami bertiga refleks menghindar. Itu masih mending, kalau melihat Casper yang sedang masuk kelas sekarang, aku yakin mulutnya pasti gatal melihat kelakuan Bhebi.

“Awas, awas! Bhebi mau berubah!” kata Casper tengil sambil membuat petahanan dengan tangannya. Juli udah ngakak kayak preman pasar di pojokan. Wulan menenggelamkan wajahnya dalam-dalam.

“Kenapa sih, Per? Kamu tuh sirik ya sama aku?” kata Bhebi dibuat semanja mungkin. Casper ketawa geli mendengarnya. Bhebi mengibaskan rambut nya lagi.

Casper ngakak. “Awas cemeti! Yang kena bisa langsung mampus!”

Itu lho, cemeti nya Sembara di sinetron Misteri Gunung Merapi. Kata Casper, rambut nya Bhebi, mirip sama cemeti nya. Kurang ajar emang tuh Casper. Bhebi langsung mengikat lagi rambut nya. Males denger omongan nya Casper. Saat Bhebi berpaling pada kami, kami berusaha menahan tawa mati-matian.

Aku berhenti tertawa. Aku kembali teringat kata-kata Bhebi. Revand mengajak kita berempat jalan? Bukannya hanya aku saja. Tiba-tiba aku tersadar. Ya ampun. Mana mungkin lah Revand hanya mengajakku. Memangnya aku siapa? Pastilah yang di maksud Revand itu kita berempat, bukan cuma aku! Revand itu kan kakak nya Wulan! Aduh, aduh. Bodoh nya aku. Untung aku belum sempat cerita soal ini ke Juli. Kalau udah, mau ditaruh mana muka ku?

“Eh, tadi berita baiknya apaan Nya?” Juli menyadarkan lamunan ku. Tiba-tiba pandangan mereka semua sudah tertuju padaku. O, o.

“Oh itu, ini,…apa tuh nama nya? Ehm..,” aku berusaha memikirkan alasan lain.

“Apa sih?” Wulan penasaran.

“Itu, kucing ku melahirkan,” Aduh. Bodoh. Nicil kan jantan?!

“Nicil-mu itu? Aku kira cowok,” Bhebi menggaruk-garuk kepala nya.

“Iya, maksud ku kucing cewek yang dikawinin sama Nicil.”

“Cewek-cowok! Betina-Jantan kale!” sahut Juli.

“Ih, pasti jijik deh. Anak-anak kucing kan bikin geli.” Kata Bhebi mengejek.

“Iih, dari pada anjing mu yang kecil itu? Siapa itu nama nya? Udah kecil, kurus, warna nya abu-abu ga jelas gitu, mirip tikus got! Kayak anjing jalanan gitu,”balas ku.

“Ye…biar kayak gitu. Nama nya ga aneh kayak kucing mu itu. Apaan tuh Nicil? Ga komersil. Anjing ku dong, nama nya MINORITA,” kata Bhebi bangga.

Juli langsung ngakak lagi. “Kayak telenovela aja. Minorita, oh…,” kata Juli dramtis. Aku ikut ngakak. Minorita itu di ambil dari bahasa bencong, artinya JELEK.

“Itu Senyorita kale,” ralat ku.

“Dari pada Boby-anjing nya Juli-kayak atlit marathon gitu. Tukang ngejar orang lewat. Sama deh kayak majikannya sama-sama atlit.” Balas Bhebi kejam. Emang bener sih, Boby itu tukang ngejar orang. Aku aja waktu pertama kali kerumah Juli langsung di gonggong habis-habisan. Sampai aku ga pengin kerumah Juli lagi. Tapi sekarang Boby udah biasa ngeliat aku, jadi ga di gonggong lagi.

“Eh, enak aja. Dia itu anjing paling setia tau. Kemana-mana aku diikutin. Kalau aku suruh pulang langsung nurut. Kalau si Minorita mu itu, dilepas didepan rumah aja langsung tersesat.” Juli menampakkan wajah kemenangan.

“Udah, stop-stop. yang nama nya anjing tuh sama aja. Sama-sama bertaring dan mengerikan.” Sahut ku gemas.

“Enak aja. Aline sama Clausie ku cantik-cantik gitu.” Protes Wulan. Tiba-tiba dia tersenyum jail. “Bheb, Jul, gimana kalau kita bawa semua anjing-anjing kita kerumah Anya. Terus kita sodorin didepan muka nya Nicil!”

Kini giliran ku yang manyun.

Aku melirik jam lagi. Sudah lewat satu jam dari jadwal pulang sekolah. Bhebi udah asik gulung-gulungan di sofa. Juli bersandar dengan mata terpejam. Wulan sibuk dengan hape nya. Sebenarnya Revand kemana sih? Kok sampai sekarang belum dateng juga. Untung saja Bhebi punya rumah di depan sekolah. Jadi kita bisa nunggu Revand disini. Kalau enggak, kita pasti udah kering kayak mumi kejemur didepan sekolah.

“Duh, mending aku tidur dirumah deh,” gumam Juli masih dengan mata terpejam. Tiba-tiba Juli berdiri dan mengambil helm nya. “Aku pulang duluan ya. Ga apa-apa deh aku ga ikut,” Juli melambaikan tangannya lalu menghilang dari pandangan.

“Aku juga ga ikut deh. Ngantuk,”Bhebi mencari posisi tidur yang nyaman. Aku diam sampai terdengar dengkuran halus dari mulut Bhbei.

“Aku juga pulang aja deh kalau gitu. Yang lain pada ga ikut sih. Kamu nunggu sendiri ga apa-apa kan, Lan?” aku mengambil helm dan bersiap pergi. Wulan mengangguk dan menatapku dengan pandangan minta maaf. Aku mengangguk.

Revand keterlaluan. Janjian sama empat cewek tapi telat nya setengah mati. Dia memang ganteng, tapi dia kan ga berhak bikin kita nunggu selama ini. Lebih baik aku membuat setting untuk pentas. Lebih berguna.

Aku menyalakan motor ku. Memanasinya sebentar. Tiba-tiba terdengar bunyi klakson mobil. Aku menoleh kebelakang. Revand ada di dalam mobil tersenyum ramah pada ku. Aduh, aku hampir meleleh. Revand turun dan menghampiri ku.

“Mau kemana?” Tanya nya ramah. Seolah tidak ada apa-apa yang terjadi.

“Mau pulang. Udah sore,” sindir ku halus. Tetap dengan senyum ramah.

“Dari mana aja sih?” Wulan keluar dengan wajah kesal.

“Dari kampus lah. Dari mana lagi?” tanya Revand polos.

“Iya. Itu aku juga tau. Tapi kenapa baru jemput? Kakak kan janji mau ngajak kita semua jalan? Tuh liat, gara-gara nungguin kakak, Bhebi sampai ketiduran, Juli udah pulang, Sekarang Anya juga mau pulang. Dan aku, udah sebel pangkat seribu sama kakak. Tau?!” semprot Wulan. Aku cuma diam aja.

Revand menepuk jidatnya. “Aku lupa. Tadi ada temen ngajakin diskusi tugas. Sumpah aku lupa.” Revand berpaling padaku. “Sorry Nya,” kata nya merasa bersalah.

Aku tersenyum pasrah. “Aku duluan ya.” Aku sempat menoleh lagi sebelum pergi. “Kak Revand, untung aja kita ini bukan cewek nya kakak. Kalau iya, kakak udah di putusin sama kita berempat.” Kata ku bercanda. Revand malah tambah pasang wajah berdosa.

“Anya, … kakak lagi seneng… banget!” kak Diza menangkupkan telapak tangannya menopang dagu. Wajahnya bersinar-sinar seperti dikelilingi kunang-kunang. Aku menatapnya malas. Aku kan sedang patah hati. Revand membuatku kecewa tadi siang. Pertama dia sudah menghancurkan khayalanku pergi berdua dengannya. Kedua dia melupakan janji-yang sudah ku toleransi-dengan kita berempat. Kenapa dia tidak berbohong saja dan bilang kalau tadi dia menabrak pohon atau apalah. Kita semua pasti bias maklum. Ya ampun, aku jahat sekali pada Revand yang ganteng ini!

“….terus kakak bilang aja, ‘bagian yang ini ga ngerti ,Gas,’ terus dia ngejelasin panjang lebar. Padahal, kakak ga ngedengerin. Nya? Anya? Kok bengong?” kak Diza menyenggol-nyenggol lengan ku. Aku belum sadar sampai dia mencubit pipi ku keras sekali. Aku mengaduh lalu membalas cubitannya.

“Kenapa sih? Kakak udah cerita panjang lebar, tapi ga didengerin!” kata kak Diza ngambek. Egois juga aku. Padahal waktu dia lagi sebel sama Bagas, dia mau ngedengerin curhat ku. Bahkan ngasih masukan.

“Iya deh maaf. Aku lagi sebel kak, sama Revand,” aku memanyunkan mulut mengingat kejadian tadi.

“Eh, iya. Kakak baru inget, bukannya kamu tadi ada rencana pergi sama Revand?” kak Diza memasang tampang curiga.

“Itu dia masalahnya kak. Revand itu ternyata bukan Cuma ngajak aku aja, tapi kita berempat! Berempat, Kak!” aku mengacungkan empat jari ku didepan muka kak Diza. Kak Diza sampai memundurkan wajah nya.

“Ya, ga apa-apa kan, Nya. Itung-itung ini permulaan. Entar lama-lama kalau dia udah ngerasa kamu itu asik, pasti dia ngajak kamu jalan berdua.” Kak Diza menggenggam tangan ku seolah memberi semangat. Aku menepiskannya sambil tertawa geli. Dramatis bener.

“Itu kalau tadi beneran jadi pergi,” aku menghembuskan nafas kecewa.

“Maksud nya?” Tanya kak Diza. Sedetik kemudian dia tersadar. “Ya ampun, jangan-jangan…”

“Ga jadi.” Kata ku berbarengan dengan kak Diza. Kak Diza langsung pasang tampang simpati pada ku. Menyebalkan sekali. Rasanya seperti korban bencana alam yang mendapat kunjungan presiden. Tatapan mengasihani.

“Memangnya kenapa?”

“Kata nya sih, dia sibuk diskusi sama temennya soal tugas. Jadi dia kelupaan. Aku jamin deh, kalau ga ada yang ngingetin, sampai sekarang dia belum ingat,” kata ku sebal.

“Eh, gimana kalau kita jalan-jalan?” mata kak Diza berbinar. “Melupakan Revand sebentar,” tambah kak Diza sambil tersenyum jail dan menaik-naikkan alisnya. Sebenarnya kalau istilahnya’melupakan’ aku kurang setuju. Mana bisa aku ngelupain Revand yang ganteng nya bikin singa ga bisa tidur, yang senyum nya bisa bikin cokelat mencair dan suara nya yang bikin gunung meletus (Cieileh…keren ga sih?). Tapi kalau Cuma sebentar, okelah.

“Yuk,” aku tersenyum riang.

Aku dan kak Diza memutuskan ke Bali Mall Galeria. Selain dekat rumah, disana itu suasana nya asik buat nyantai. Banyak taman nya, air mancur, bisa duduk-duduk sambil makan es krim (yang satu ini aku suka sekali), terus ga terlalu rame kalau bukan malam minggu. Biasanya setiap malam minggu disini selalu ada event. Acara ultah radio, lomba dance, lomba modeling, konser band-band, pokok nya jadi langganan buat di sewa. Dan kita berempat paling suka kesini kalau ada lomba dance. Soalnya Bhebi pasti ikut lomba, dan biasanya pulang selalu bawa hasil.

Aku menggigit kecil es krim ku. Menggigil sebentar karna kedinginan. Kak Diza lebih suka minum jus dari pada es krim. Aneh sekali, enakan es krim donk! Aku melihat sekitar, ga terlalu rame, kayak nya hari ini ga ada event apa-apa. Kak Diza mengeluarkan hasil buruannya tadi.

“Eh, cocok ga sih?” kak Diza mencopot anting yang di pakai nya lalu mengganti nya dengan yang baru ia beli. Kak Diza menggoyang-goyangkan kepala nya pamer anting baru.

Aku mengangguk. “Bagus,”

“Serius dong. Ga semangat gitu jawab nya,” kak Diza merengut.

Aku tertawa geli. Aku merubah posisi duduk ku lalu ambil nafas. “Iiiih, cocok banget. Lucu deh!” ulang ku dengan nada riang.

Kak Diza tambah merengut. “Itu sih maksa. Ya udah deh. Anggep aja bagus beneran,”

“Yee…aku kan emang udah ngomong bener-bener.” Kak Diza menaikkan mulut nya sambil menjulingkan mata. Mengejekku.

Tiba-tiba mata ku menangkap sosok yang sangat ku puja. Revand! Ngapain dia disana? Tanpa sadar aku tersenyum lebar. Dia ganteng sekali. Kaus hijau yang dia pakai pas sekali di tubuh nya. Celana jeans nya juga sangat cocok. Dan wajah lugu nya itu, ya ampun…aku banget! Tiba-tiba aku sadar ini kesempatan ku memberi tahu kak Diza. Akan ku tunjukkan kalau Revand-ku juga ganteng kayak Bratt Pit.

“Kak…,” aku mengurungkan niat ku memberi tau kak Diza soal Revand saat aku melihat seorang perempuan cantik bergelayut manja di sebelah Revand. Mata ku menatap nya tajam. Siapa cewek itu? Ya ampun. Cantik sekali, mungkin turunan Jerman, atau apalah. Yang jelas itu cewek indo. Bagaimana ini. Kalau ada gadis cantik sepeti itu disebelah Revand aku pasti ga kelihatan. Wulan bohong! Dia bilang Revand belum punya pacar. Lalu siapa cewek itu?!

Belum sempat aku memperhatikan mereka lebih lama, kak Diza menarikku keluar dari Mall. Saking bingung nya aku jadi tidak berkata apa-apa dan menurut saja. Setelah sampai parkiran aku baru sadar wajah kak Diza masam. Mau bertanya takut juga. Berdasarkan pengalaman, kalau wajah kak Diza seperti ini, pasti sebentar lagi mau ngomel. Berhubung sekarang di tempat umum, kak Diza pasti mati-matian menahannya.

“Kak, kenapa sih?” aku memberanikan diri bertanya setelah kak Diza berbaring di kamar lama…. sekali. Sekarang sudah lewat 1 jam dari waktu pulang tadi. Tapi kak Diza cuma diam saja. Aku mau cerita soal Revand jadi ngeri. Jadi ku tunda saja. Tapi tidak bisa ku pungkiri, aku gelisah sekali. Gelisah sampai mau mati!

Tiba-tiba kak Diza menatapku tajam. “Kamu tau?”

Aku menggeleng kuat-kuat melihat mata kak Diza mendelik.

“Tadi aku liat Bagas!” kata nya galak. Aku kaget sekaligus bingung. Harus nya tadi itu kesempatan ku untuk tau yang nama nya Bagas. Kesempatan yang amat sangat jarang terjadi. Kenapa sih kak Diza ga bilang sama aku? Yang aku heran, dia bukannya seneng, tapi malah marah-marah nyeremin kayak gini.

“Terus? Kenapa marah-marah?” aku mengurungkan niat protes soal Bagas. Bisa kena cekik aku nanti.

“Dia sama cewek!!” teriak kak Diza sambil meremas-remas bantal.

“Hah? Serius? Pacar nya?” Ya ampun. Kita ini senasib banget sih? Tadi aku juga ngeliat Revand sama cewek centil dan cantik-harus kuakui-itu.

“Bukan…!”

“Lho?” aku bingung. Kak Diza ini, kalau dia bukan pacarnya kenapa marah-marah?

“Dia itu sepupu jauh nya. Tapi ga ada hubungan darah. Jadi bisa aja mereka itu menikah!” kak Diza menggigit bantal nya. “Gimana nih?”

“Kak, awas bantal nya kena iler,” kataku pelan. Ga asik kan kalau pas lagi tidur bantal kita ketuker terus aku nyium bekas iler nya. Kak Diza melepaskan gigitannya lalu melempar bantal itu jauh-jauh. Wah, wah. Tolong, tolong. Bayi gorilla ngamuk. Dia sampai berpikir ke pernikahan. Cinta mati sama Bagas kayak nya nih.

“Duh, jangan mikir yang jauh-jauh deh. Kakak kan masih bisa nyari cowok lain,” hibur ku. Padahal kalau kak Diza bilang seperti itu padaku, aku juga tidak akan mau melupakan Revand-ku. Yah, begitulah manusia.

Kak Diza terdiam lama. “Kakak ga bisa. Kakak sayang banget sama Bagas. Kakak ga rela ngeliat dia sama cewek lain,” mata kak Diza berair. Aku baru kali ini melihat kak Diza menangis hanya karna seorang cowok. Yah, walaupun survey membuktikan kalau 80% penyebab cewek menangis adalah cowok. Itu survey ku sendiri. Kebetulan aku suka jadi tempat sampah temen-temen ku.

“Udah kak. Sebener nya tadi aku juga ngeliat Revand sama cewek,” Kata ku akhir nya. Biasanya kalau ada orang yang senasib dengan kita, beban kita akan berkurang. Karna di tanggung berdua.

Kak Diza mendongak tidak percaya. “Beneran?” tapi kemudian mimiknya berubah curiga. “Atau kamu cuma pengin ngehibur kakak?”

Aku menggeleng. “Ngapain juga aku bohong. Ga enak bener bohong nya. Bilang Revand jalan sama cewek segala.” Kataku sedikit menghibur.

Kaka Diza mengusap air matanya. “Tapi kamu kok kelihatannya ga sedih gitu? Memangnya cewek nya jelek?”

Aku melotot mendengar kata-kata kak Diza. Kalau aja dia lihat secantik apa cewek yang ada disebelah Revand tadi. Aku udah jelas kebanting lah! Matanya biru, tinggi, putih, rambut nya ikal hitam-panjang pula-wajah nya ga usah diragukan lagi. Cowok yang ga naksir ngelihat cewek itu pasti udah gila.

“Cantik ya?” Tanya kak Diza melihat mimic muka ku.

“Banget.”

“Terus?”

“Apa?” aku mengerutkan kening.

“Terus kamu gimana? Kok ga nangis?” kak Diza mneyodorkan bantal untukku. Mungkin dia pikir, siapa tau aku juga mau menggigit bantal. Tidak, terima kasih.

Aku mendekap bantal. “Aku kan belum tau, cewek itu siapa. Kalau ternyata bukan pacarnya, rugi dong aku nangis-nangis? Mending aku simpen air mataku buat nanti kalau-kalau musim kemarau tiba,” kata ku dengan tampang tengil.

Kak Diza menggebuk wajah ku dengan bantal.

Itu dia!

Aku merapatkan tubuh ku di pintu lobi sekolah. Untung saja pintu lobi ini terbuat dari ukiran-ukiran bali. Jadi aku bisa mengintip lewat lubang-lubang ukirannya. Aku sedang memperhatikan Mobil Revand yang masuk ke lapangan sekolah. Dari pintu sebelah kiri Wulan turun dengan wajah manyun. Tiba-tiba pintu belakang terbuka dan cewek indo itu turun dengan wajah berseri. Nah, benar kan! Mereka ada hubungan. Cewek itu melihat sekitar gedung sambil mengangguk-angguk lalu mengatakan sesuatu pada Wulan, wajah Wulan tambah merengut lagi. Cewek itu melambai dan pindah ke bangku depan. Cewek itu menurunkan kaca dan tersenyum manis pada Wulan. Revand ikut melongok melambaikan tangan pada Wulan. Setelah mobil itu keluar dari pagar sekolah, aku langsung berlari menghampiri Wulan.

“Lan!” Wulan menoleh dan menghampiri ku. Aku mensejajari langkah Wulan yang kelihatannya bertambah panjang. Atau hanya perasaan ku saja?

“Iiiihh…,” tiba-tiba Wulan begidik dengan wajah sebal.

“Kenapa? Eh, tadi itu siapa sih?” kata ku tidak bisa menahan rasa penasaran.

“Cewek tadi itu? Itu Cinta laura!!” kata nya dengan logat barat dibuat-buat.

Aku tertawa geli. “Serius ah!”

“Duplikat nya Cinta laura! Mana ujan, becek, ga ada ojek,…” kata nya masih dengan logat barat.

“Pacar nya Revand?” kata ku pahit.

Wulan menoleh dengan gusar. “Haduh…jangan sampai deh!” Wulan mengetok dinding tiga kali. “Jik peng,”¹

Aku sedikit menghela nafas lega. Setidaknya Wulan juga tidak suka dan sangat tidak setuju kalau cewek indo itu jadi pacarnya Revand. Padahal cewek itu kelihatannya ramah dan bersahabat dengan Wulan.

“Dia itu Laura, sepupu jauh ku.” Kata Wulan.

Aku ambil kesimpulan semua sepupu jauh itu menyebalkan.

¹ Jik peng itu kepercayaan orang bali. Kalau kita tidak menginginkan sesuatu terjadi, kita mengetok benda mati tiga kali sambil mengakatan, “Jik Peng,”.

“Dulu tuh dia ga nyebelin kayak gitu. Dulu dia cantik, imut dan nyenengin.” Wulan memutar bola matanya. Menurutku ga ada yang berubah. Aduh, bagaimana sih aku ini, kok malah belain si Jerman itu.

“Sekarang?” Tanya ku penasaran.

“Beeee…,” wulan mengikuti gaya Changcuters. “Baru dia diberi tau kalau dia sebenernya Cuma anak angkat, dia bukannya sedih, tapi seneng bukan main! Dia bilang, ‘Asik kan jadi aku bisa menikah dengan Revand!’” Wulan mengikuti gaya bicara Laura.

Aku langusung terdiam. Menikah katanya. Itu juga yang dikatakan kak Diza tadi malam. Ternyata benar, cowok mana yang akan menolak dinikahkan dengan cewek secantik itu? Mati aku!

Wulan melempar tas nya ke meja sampai Juli dan Bhebi terlonjak.

“Wuih…preman, preman! Beri jalan, beri jalan,” Juli merentangkan tangan nya untuk memberi jalan Wulan. Aku memberi isarat supaya mereka diam. Bhebi langsung diam sambil memasang tampang bertanya-tanya.

“Terus Lan,” kata ku mengambil posisi duduk kebelakang.

“Ya terus sejak itu dia nempel-nempel terus sama Revand,” Wulan memanyunkan mulut nya. Mendengar nama Revand di sebut-sebut, Bhebi langsung tertarik.

“Siapa eh, siapa?” Bhebi mengguncangkan tangan ku. Jadi mau tidak mau aku yang mengulang cerita Wulan tadi. Kalau Wulan disuruh cerita lagi, bisa tambah marah dia.

“Iiih, males banget deh. Jadi ceritanya sekarang ada saingan nih?” kata Bhebi ikut-ikutan logat barat. Juli ketawa ngakak.

“Kamu saingan sama dia sih udah jelas kaleee siapa yang menang,” kata Juli. Sekarang semua jadi ikutan pake logat barat. Bhebi menganga sok dramatis.

“Kamu ga liat nih,” Bhebi berdiri dan menempatkan pantat nya di meja. “Aku seksi begini,” tangannya menempel di tembok. “Sensual,” bibir nya dimajukan dan dibuat sedikit menganga. “Item seksi selera bule,” kata nya sambil meliuk-liukkan badan. Kita bertiga ngakak melihat tingkah nya yang kumat.

“Yang bule itu kan Laura, bukan Revand. Berarti kamu seleranya Laura,” ejek Juli. Aku dan Wulan mengangguk-angguk sambil tertawa.

“Yeee…cowok local juga banyak yang mau kok. Siapa sih yang ga suka cewek seksi kayak aku?” kata nya lagi membuat aku dan Wulan ngakak.

“Revand kali. Atau yang suka tuh orang-orang di APACHE. Yang serimba sama kamu,” balas Juli. Aku dan Wulan menahan tawa. Kalau udah nyangkut-nyangkut rambut gimbal, Bhebi pasti langsung marah deh. Aku melirik Bhebi yang merengut tanda malas bercanda dengan Juli.

“Udah, udah. Eh, sembayang yuk. Kita berdoa supaya Laura itu ga jadi pacar nya Revand,” kata Wulan diikuti anggukan mereka.

Aku mengikut dibelakang mereka. Mereka bertiga memang beragama Hindhu. Hanya aku saja yang beragama islam. Tapi perbedaan itu ga bikin kami ga bisa bersahabat kok, bukti nya dua tahun ini kita enjoy aja. Tinggal saling menghormati aja. Kalau bulan puasa, mereka pasti makan diam-diam. Kadang-kadang kalau kumat jailnya, mereka mengiming-imingi aku. Alasannya tes iman. Aku masih bisa tahan atau enggak. Tapi untung nya selama ini aku belum pernah tergoda sama setan-setan kecil ini.

Sebaliknya, aku juga menghormati mereka. Kadang kalau dekat-dekat musim ulangan, mereka mendadak rajin sembayang. Biasanya ga pernah bawa canang-banten atau sesajen untuk dewa-tiba-tiba bawa satu plastic canang ke sekolah. Mereka harus mebanten dan bersembayang di tugu-tugu pelinggih, padmasana dan tugu karang yang ada di sekolah. Kebetulan disekolah ku ada 6 lokasi. Didepan gerbang, di samping tempat parkir, di bawah tower, di depan taman, di pojok kelas dan terakhir di dekat kantin. Biasanya kalau mereka ga ada temen untuk sembayang bareng, aku yang nemenin mereka. Yah, cuma sekedar nganter aja. Kan ga ada salahnya.

Mereka bertiga masuk ke Padmasana-pura paling besar di sekolah. Aku menunggu mereka di bale bengong². Setelah lima menit didalam sana, mereka keluar dengan bija³ di dahi dan pangkal tenggorokan. Juli menghampiri ku lalu menempelkan bija di dahi dan dipangkal tenggorokan ku. Iseng banget nih anak. Aku juga di suruh ikutan make. Yah biar deh. Kata mereka sih, cewek yang pake bija itu kelihatan lebih cantik. Bener juga sih, kelihatannya lebih ajeg bali. Hehe…

² Tempat duduk-duduk dan orang berkumpul. Biasanya dipakai untuk tempat ngobrol atau makan.

³ beras yang direndam dengan air lalu di gunakan setelah selesai sembayang. fungsinya untuk memperoleh kesempurnaan.

“Ngedoain apa tadi?” aku mengangkat poni ku sedikit agar ga menyentuh bija dan merontokkannya.

“Bhebi paling lama nih berdoa. Tanya aja dia. Doa kita pasti udah dibaca juga sama nih anak,” kata Wulan.

“Segitu nya Bheb?” aku menahan tawa.

“Jelas donk. Memang nya kamu mau kalau cewek itu jadi pacar nya Revand??” Bhebi mendelik lagi.

“Ga mau!!” jawab ku spontan. Mereka bertiga ketawa kompakan. Aku langsung salting. Waduh, kebablasan deh. Aku cuma bisa nyengir.

Jadi disinilah kita sekarang. Didepan sekolah. Nunggu Wulan di jemput oleh Revand. Berharap si Jerman itu ngikut juga. Juli sama Bhebi udah ga sabaran pengin ngeliat kayak gimana tampang bule yang nempel-nempel sama Revand itu. Nanti kalau udah ngeliat, mereka pasti bingung. Harus merelakan atau ga. Yang jelas cewek itu cantik banget. Yah…kelas nya Nadine Chandrawinata deh. Nah kalau sudah begitu kita mau ngelawan pake apa? Fisik jelas kalah telak. Hati?? Ya ampun. Cowok jaman sekarang sih seribu satu yang mau ngeliat hati dulu baru fisiknya. Kalau ada outer beauty yang keliatan kenapa mesti nyari inner beauty??

“Tuh Revand!” teriakan Wulan membuat Bhebi dan Juli kalang kabut. Aku yang udah ngeliat tampang nya si Jerman itu tetep penasaran juga.

Dan menganga lah mereka semua saat si Jerman turun dari mobil. Kakinya yang jenjang dan putih mulus terpampang jelas. Beberapa cowok-cowok yang lagi nongkrong didepan sekolah langsung ileran. Rambutnya diikat kuncir kuda dan kaca mata hitam besarnya membuat nya makin segar dan cantik. Celana pendek hitam dan tank top putih nya membuat nya terlihat semakin putih bersih. Matanya yang biru mencari-cari sosok Wulan. Begitu melihat Wulan dan kita bertiga-yang menganga-dia melambaikan tangan nya. Cowok-cowok tidak tau diri yang lagi nongkrong itu, membalas lambaian tangan Laura. Norak! Revand turun dari pintu sebelahnya lalu menyusul langkah si Jerman.

“Hai Wulan,” sapanya. Benar kata Wulan logat nya mirip Cinta laura. Mata nya menangkap kami bertiga. Mulut Juli dan Bhebi masih menganga. Aku terpaksa menaikkan dagu mereka berdua agar mulut nya tertutup.

“Hai,” si Jerman itu menyapa kami. Hanya aku yang tersenyum. Juli dan Bhebi sudah mengibarkan berdera putih.

“Laura, aku kan udah bilang, kamu ga usah turun,” kata Revand disebelah kuping si Jerman. Laura menatapnya bingung.

“Why not?” kata nya sambil mengadahkan tangan dan menggelengkan kepala. Gaya orang barat abis! Kami kompak memutar bola mata.

“Baju mu itu lho! Saltum! Kamu ini jemput aku ke sekolah, bukan ke pantai!” sahut Wulan ketus. Kami menahan tawa. Kelihatannya Wulan bener-bener kesal.

“Iya. Bali gelap, Bali gelap,” gumam Bhebi menyindir kaca mata Laura. Cukup keras untuk sebuah gumaman. Aku meliriknya. Ternyata bendera putih ke puncak kepala nya sudah berganti dengan bendera perang. Oh, oh.

“Eh, siapa yang mau ikutan main voli pantai?” Tanya Juli pada adik-adik kelas yang sedang menunggu jemputan. Aku tau betul dia juga menyindir Laura. Karna dari adik kelas itu, tidak ada yang kami kenal. Laura menyipitkan mata nya.

“Ayo pulang,” kata Revand menyadari ada hawa panas disekitar kita. Wulan melambai pada kami. Aku dengan pasrah melepaskan Revand yang pergi sambil menggandeng Laura Jerman Kampung itu! Kayak nya aku udah jadi sekutu mereka nih!

Kita sempat melihat Laura di usir Wulan saat dia mau masuk ke bangku depan bersama Revand. Mau tidak mau kita tertawa. Laura tersenyum kecut pada kami. Biar rasa dia!

Aku berlari terengah-engah sambil memeluk tas slempang ku. Dari jauh aku sudah melihat anak-anak teater yang berkumpul. Mereka mendengus melihat ku. Aku Cuma bisa nyengir aneh.

“Gimana sih? Sutradara kok telat?” sindir Yogi.

“Maaf, maaf. Aku ketiduran. Nama nya juga manusia,” kata ku membela diri. Mereka Cuma bisa ber’alah-alah’ mendengar alasan ku.

“Yuk mulai,” aku memimpin mereka ke panggung belakang. Aku mengambil kertas catatan ku yang sudah ku susun dirumah. Ada banyak pemain yang akan dipakai untuk pementasan kali ini. Susah juga sih, mengingat orang yang casting ga terlalu banyak dan ga semuanya punya kemampuan yang sama. Akhinya, yah..apa boleh buat. Harus di coba dulu.

“Yang casting jadi Manis, di sebelah sini,” aku menunjuk sebelah kiri ku. Beberapa cewek-cewek yang mau casting jadi Manis pun beranjak kesebelah kiri ku.

“Yang jadi Jelita….,” dan akhirnya semua sudah ku bagikan tempat masing-masing. Lalu casting pun dimulai dari pemeran utama dan berlanjut sampai ke peran pembantu. Agak susah juga menentukan pemerannya, karna bagiku belum ada yang benar-benar pas untuk peran itu. Tapi yah, di coba saja dulu. Nanti kalau tidak cocok tinggal diganti.

“Oke, aku mulai aja. Dari casting tadi, aku udah memilih beberapa orang untuk memerankan operet ini. Nanti kalian yang terpilih atau tidak terpilih, aku harap bisa menerima keputusanku. Apapun itu. Dan yang tidak terpilih, kalian jangan berkecil hati, kalian tetep harus dateng latihan. Karna bisa aja sewaktu-waktu aku mengganti pemainnya. Jadi kalian yang nanti rajin mengikuti latihan bisa aja yang jadi pengganti nya,” kata ku panjang lebar.

Mereka mengangguk-angguk. “Oke, aku bacain dari peran utama nya,”

Setelah aku membacakan hasil casting tadi, beberapa anak terlihat kecewa karna nama mereka tidak masuk daftar.

“Kita mulai latihan besok ya?” Tanya ku meminta persetujuan mereka. Mereka mengangguk-angguk setuju. Aku berpaling pada Ipank yang ketua teater. Dia mengangguk seolah mengerti maksud ku.

“Oke, karna udah hampir malem, kita berdoa aja. Terus pulang kerumah masing-masing,” setelah berkata begitu, ototmatis seluruh anak menyilangkan tangan nya dan kemudian saling bergandengan. Ini memang sudah ritual doa anak teater di sekolah kami. Lalu setelah berdoa singkat itu, kami pun pulang.

“Capek, Nya?” Tanya kak Diza datar.

“Yah..lumayan lah,” kata ku juga datar.

Aku dan kak Diza sama-sama diam. Kemudian seperti diberi aba-aba, kami menoleh berbarengan. “Aku mau cerita,” kata kami berbarengan. Aku dan kaka Diza menghela nafas.

“Kamu duluan deh,” kata kak Diza.

Aku diam. “Sepupu jauh memang mala petaka,”

“Lho kok, ngomongin Bagas?” kak Diza berkerut.

“Si Bule Jerman itu sepupu jauh nya Revand!” sahut ku kesal.

Kak Diza tampak bingung. “Tunggu. Maksud mu, cewek yang kamu liat di Mall itu juga cewek bule?”

Sekarang aku yang bingung. “Kakak juga?”

Aku dan Kak Diza saling pandang. “Emang ya, semua sepupu bule itu nyebelin!” kata ku kemudian. Kak diza hanya memandang ku. Aku yang tadi nya merengut kesal ikutan menoleh. Kak diza menaikkan alis nya tanda ada yang tidak beres.

Aku juga mencium ketidakberesan. “Jangan bilang Revand dan Bagas itu orang yang sama?” kata ku dan kak Diza berbarengan. Kami terdiam lama lalu tertawa-terbahak-bahak.

“Mana mungkin sih??” kata kak Diza disela-sela tawa nya.

“Iya, mana mungkin sih? Kayak didunia ini Cuma ada satu cowok aja! Lagian jeals-jelas nama nya beda,” aku menggeleng-geleng kan kepala. Bisa saja aku ngomong kayak gitu, tapi didalem hati aku ga yakin dengan omongan ku sendiri. Semua kebetulan yang jarang banget terjadi. Masa sih bisa? Hei, hei. Inget Anya, tidak ada yang mustahil di dunia ini. Semua bisa terjadi. Kalau benar Revand adalah Bagas, rasa nya aku ingin bunuh diri saja. Masa aku harus bersaing dengan kakak ku sendiri. Tidak. Aku sama sekali ga sanggup kalau harus bersaing dengan kak Diza. Dia itu kan kakak yang sangat kusayang. Dia cinta mati sama Bagas. Mana mungkin aku tega ngerebut Bagas dari dia. Tapi bukannya aku juga cinta mati sama Revand? Bahkan dari dulu sebelum kak Diza cerita soal Bagas. Hah, aku ini. Seperti aku yang akan dipilih saja. Kelewat ge-er kamu, Nya.

Apaan sih aku ini? Itu kan hanya seandainya Bagas memang orang yang sama dengan Revand?! Jangan mikir yang aneh-aneh deh! Lebih baik sekarang pikirin aja gimana besok. Kita semua udah buat rencana untuk si Jerman Kampung itu. Aduh. Konsentrasi ku terpecah nih! Aku menarik nafas dalam-dalam. Ya, ya. Revand dan Bagas itu orang yang berbeda. Tidak sama. Titik. Sekarang lebih baik aku tidur saja. Daripada otakku di pakai untuk berpikir yang tidak-tidak.

“Heii, kakak kan belum cerita!” kak Diza menggucangku yang sudah mengambil posisi tidur. Aku mendongak lagi lalu bangun dari tidur. Aku nyengir lebar.

“Maaf. Aku lupa, habis capek banget,”

Kak Diza diam.

“Dooorr…” kata ku sambil menepuk paha kak Diza. Kak Diza sampai meloncat kaget. Dia mencubit paha ku gemas.

“Aduuuhh, makanya jangan bengong. Kata nya mau cerita. Hargailah waktu! Sedetik aja bisa buat aku ketiduran lagi nih!” aku menarik kelopak mata ku ke atas seolah aku memang ngantuk berat.

“Kakak udah tanya sama Bagas, apa benar sepupu nya itu datang ke sini. Dia malah bilang sama kakak kalau keluarga nya lagi gencar ngejodohin mereka berdua,”

Aku menurunkan tangan. “Terus gimana kak? Bagas mau aja di jodohin gitu?”

Kak Diza menggeleng. “Ini berita baiknya. Bagas ga mau di jodohkan. Walaupun dia ga nolak terang-terangan, tapi dalam hati dia udah nganggep sepupunya itu seperti adiknya sendiri. Dan dia ga ada rasa apapun sama sepupunya itu,”

Aku heran. Kak Diza masih aja kelihatan lesu. Harus nya dia sedikit gembira. Karna Bagas menolak dijodohkan. “Bagus kan kalau gitu? Kenapa kakak masih murung?”

“Dia bilang gitu bukan berarti dia ga jadi dijodohin sama cewek itu. Dia ga nolak terang-terangan aja udah jadi bukti kalau dia ga berani nolak kemauan orang tua nya. Emang kamu ga tau? Kan banyak orang yang nikah gara-gara perjodohan. Walaupun mereka ga saling suka.” Kak Diza menerawang jauh.

Aku diam memperhatikan ekspresi kak Diza. “Kak…,”

“Hm?”

“Kakak kalau ikut casting film pasti lolos deh,” kata ku sekenanya.

Kak Diza menoleh sambil melotot. “Kakak serius tau!”

“Aku juga serius. Penjiwaannya dapet banget. Aku aja sampai ke bawa sedih nih. Kakak itu punya taste!” kata ku menirukan iklan.

“Halah, mentang-mentang sutradara!” kak Diza melorot mengambil posisi tidur. “Udah ah. Tidur. Besok kamu kesiangan lagi. Besok mulai latihan kan?”

Aku ikut melorot disamping kak Diza. “Iya.”

“Eh, entar jadi kan? Pulang sekolah kita langsung kerumah ku?” Wulan mencomot nugget yang sedang ku pegang.

Aku manyun. “Jadi sih jadi, tapi ga pake nyomot makanan orang ya!”

Wulang nyengir tengil. “Maaf. Refleks tangan ngeliat makanan,”

Juli mengernyit. “Jelek banget refleks mu. Untung itu makanan punya Anya. Kalau makanannya preman kamu samber, bisa di samber balik sama golok entar.”

Bhebi tertawa sampai keselek. “Ada-ada aja perbandingan mu, Jul.” Bhebi menyeruput es jeruk nya. “Tapi entar aku nebeng kamu ya, Nya. Kan pulang nya searah sama rumah ku yang di panjer. Hehe…”

“Ya ampun. Please deh Bheb! Rumah mu yang di gatsu itu sama rumah nya Wulan kan udah kayak tetangga. Tinggal ngesot juga nyampe. Kenapa mesti balik lagi kerumah mu yang di panjer?” kata ku kesal.

“Entar aku ada latian dance di sekolah jam 4. Sekalian kan balik lagi,”

Juli dan Wulan mengerang aneh. “Kalo gitu, kenapa kamu ga sekalian pulang kerumah mu yang di gatsu aja?” kata mereka bareng.

Bhebi diam kemudian nyengir. “Iya, ya. Kok aku ga kepikiran?”

Kita bertiga langsung berkata kompak, “Kalau kamu kepikiran, kita malah heran!”

Bhebi merengut.

“Pank!” aku berlari menghampiri Ipank yang lagi asik ngupil.

“Apa? Minta?” kata nya sambil menyodorkan jari nya yang di penuhi upil. Yaks!

“No, thank’s.” kata ku jijik. “Entar aku mungkin agak telat latihan ya. Aku ada urusan.” Aku nyengir.

Mimiknya langsung berubah. “Urusan apa sih yang lebih penting dari pementasan?”

“Yah.. ada deh pokok nya,” aku mengacungkan jempol lalu berlari meninggalakan nya. Aku melambai pada Ipank saat melaju keluar sekolah. Wulan, Juli dan Bhebi ikut melambai di belakang. Kami segera tancap gas saat Ipank berusaha mengejar sambil mengacung-acungkan jari telunjuknya yang penuh upil. Yaiks!!

Jantung ku udah berdebar ga karuan saat kami mulai melaju ke rumah Wulan. Padahal belum bertemu Revand. Berkali-kali aku menarik nafas panjang. Sampai Bhebi bosan bertanya apa aku sesak nafas. Aku mengiyakan saja. Rencana nya nanti kami pura-pura bikin tugas kelompok, terus kita akan melancarkan serangan-serangan amunisi. Kita ajak dia ngobrol, terus kita pancing-pancing untuk mencari informasi tentang hubungannya dengan Revand. Tapi sebenarnya, tanpa di korek-korek juga, aku sudah bisa menebak kalau Laura itu naksir berat sama Revand. Yang jadi masalah sekarang, apa Revand juga suka sama Bule Jerman genit ini? Huwa…semoga saja tidak. Kalau iya, aku bisa hancur berkeping-keping. Apalagi membayangkan Revand yang lugu dan polos itu jadi santapan nenek sihir mengerikan seperti Laura.

“Lan, masukin Clausie sama Aline ke kandang.” Itu kata pertama yang aku ucapkan saat kita sampai dirumah Wulan. Mereka malah tertawa.

“Udah kok, aku udah suruh Revand masukin tadi.” Wulan membukakan gerbang untuk kami.

“Revand udah pulang?” kata ku heran. Tumben, jam segini gitu…

“Cieh..hafal bener jadwal nya Revand.” Goda Wulan. Wajah ku langsung bersemu. “Dia hari ini bolos kuliah. Tuh, di suruh sama ‘nenek sihir’,” Wulan menurunkan volume suaranya saat berkata ‘nenek sihir’. Kami langsung saling pandang dengan wajah heran. Revand mau aja disuruh-suruh sama mak lampir itu. Kalau aku sih ga sampai hati nyuruh Revand bolos kuliah cuma buat nemenin aku jalan-jalan.

“Ayo, cepet, cepet masuk. Aku pengin liat si mak lampir itu,” Juli segera memarkir motor, melepas sepatu dan langsung masuk ke dalam tanpa di persilakan. Aku dan Bhebi yang melihat Juli langsung aja tersihir ikut-ikutan ngeloyor masuk. Wulan Cuma bisa melongo melihat keantusiasan kita.

“Coba deh Vand,” terdengar suara manja Laura. Kita bertiga menyaksikan adegan ‘menjijikkan’ antara Revand dan Laura. Maksudnya menjijikkan tentu saja hanya Laura saja. Dia memaksa Revand mencoba kue yang dari jauh saja sebenernya tidak bisa di sebut kue. Warnanya hitam gosong, dibilang bulat juga ga bulat, dan bau gosong nya itu lho, tercium sampai sini.

Kami bertiga berdeham berbarengan. Saling lirik sekilas mengagumi kekompakan kami. Mereka berdua menoleh. Wulan yang baru dateng tengak-tengok kebingungan. Wajah Revand bersinar melihat kami. Tentu saja, dia jadi ada alasan untuk tidak makan kue beracun itu. Lain dengan Laura Lampir, dia merengut seperti habis makan asem sekilo. Kue yang tadi dia sodorkan pada Revand dia makan sendiri. Tapi belum sempat ia kunyah, kue itu langsung ia muntahkan lagi. Nah, tau kan rasa nya? Yang kayak begitu Revand disuruh makan. Yang benar saja.

“Hai… kalian ada belajar kelompok ya?” Revand berbasa-basi.

“Iyaaa..,” sahut kami bareng dan manis. Laura langsung bangkit melihat bendera perang berkibar menantang dikepala kami.

“Hai semua… tumben dateng kesini?”

“Tumben? Kita emang biasa kesini kaleee…kamu nya aja yang ga tau. Kan kamu baru-baru ini dateng?” serobot Juli. Yak! Serangan mulai diluncurkan!

Laura diam sambil menatap tajam Juli. Menyadari ada perang cahaya lewat mata, Revand menengahi. “Kita duduk di meja keluarga aja yuk. Kan luas, bisa buat belajar bareng,”

Kami semua menurut seperti kucing kecil. Lihat saja, di pipi Bhebi sudah muncul kumis. Dan, ya ampun! Kuping Juli sudah berdiri seperti anjing diberi makan! Kami duduk besila kemudian mulai mengeluarkan buku matematika yang tadi sudah direncana kan. Tiba-tiba terdengarlah celetukkan dari nenek sihir itu.

“Duuh…bau apa ini ya? Seperti bau kaki?” katanya sambil melirik kami. Kami langsung saling pandang. “Cuci kaki dulu gih.”

Aku bangkit. “Yuk cuci kaki. Nanti kalau masih bau, berarti bukan bau kaki, tapi bau ketek orang,” kataku kejam sambil melirik Laura yang hanya menakai tank top. Seketika dia langsung mengempitkan ketiak nya. Kami bertiga menahan tawa sambil beranjak ke kamar mandi.

“Rexona, siap setiap saat!” celetuk Bhebi sambil jempol dan telunjukknya membentuk huruf V.

Lima menit kemudian kami sudah kembali duduk di meja. Laura yang baru keluar dari kamar juga ikut duduk. Seperti nya dia benar-benar habis pakai deodorant. Aku bisa melihat bercak putih di kerutan ketiaknya. Dasar bule kampung.

Baru Laura akan berkata lagi, Wulan cepat-cepat menyela. Bagus!

“Kak, kamu kan jago matik. Yang ini nih, kita ga ngerti. Disuruh buat presentasi lagi,” Wulan melirikku sambil mengedipkan mata.

“Oh, ini. Ini gini cara nya.” Revand mencorat-coret kertas HVS kosong yang Juli sodorkan. Kami mengangguk-angguk. Sebenarnya kami udah ngerti. Tapi yah…iseng aja nanya. Laura memutar bola matanya.

“Guru kalian ngejelasin pakai bahasa Indonesia aja ga ngerti. Gimana kalau pakai bahasa inggris ya? Bisa-bisa kalian ga naik kelas.” Katanya sombong. Mentang-mentang bule!

“Kalau gitu coba terangkan yang ini dengan bahasa inggris. Nanti aku akan mengulang apa yang kamu katakan dengan bahasa Indonesia.” Kata Juli mantap. Kami menghela nafas. Syukur ada Juli yang jago bahasa Inggris. Kalau enggak, kita pasti udah mati kutu di katain begitu sama Bule gila ini.

Laura menyipitkan mata. Dia mulai menjelaskan dengan bahasa inggris secepat mungkin. Mungkin harapannya, Juli ga bisa mengikuti kata-katanya dan kita kalah. Entah ini hanya perasanku atau memang benar, aku merasa bahasanya itu belepotan dan agak ngawur, tapi dia kan bule?

Juli tertawa geli pada kita. Lalu bicara dengan bahasa Bali yang tentu nya Laura itu ga ngerti. “Kadenne raga sing bisa basa inggris, makane pelih-pelihne ngomong pang raga sing bisa ngerti.” Artinya “Dia kira aku ga bisa bahasa Inggris, makannya disalah-salahin ngomongnya biar aku ga bisa ngerti.”

Kami tertawa mendengar kata-kata Juli yang tentu saja membuat Laura semakin kesal karna kita menertawakan nya sementara dia tidak tau apa yang kita bicarakan. Juli menatap Laura mantap. Lalu mulai menjelaskan dengan bahasa inggris yang fasih. Setelah selesai dan membuat Laura bengong, baru Juli mejelaskan dengan bahasa Indonesia.

“Itu yang bener. Tadi bahasa inggris mu kacau. Aku ga tau apa kamu bener-bener orang bule atau cuma keturunan bule yang tinggal di Indonesia.” Kata Juli dengan nada heran biasa. Tapi justru yang seperti itu membuat Laura makin jengkel. Kita bertiga mati-matian menahan tawa melihat Laura yang mati kutu.

“Hebat juga bahasa Inggris mu.” Kata Revand salut. Juli langsung tersenyum bangga. Kita bertiga mengiyakan.

“Ehm, Vand. Yang ini gimana?” Tanya ku pelan. Revand tersenyum lalu melihat soal yang kusodorkan. Yang ini juga aku udah ngerti. Tapi biarlah. Biar aku dapat kesempatan ngobrol sama Revand.

Revand tersenyum malu. “Sori. Dari dulu aku lemah logaritma.” Kata nya lucu. Aku hampir tergoda untuk menjelaskan padanya. Tapi kalau aku melakukannya, Revand pasti tau kalau aku berbohong. Jadi aku diam saja sambil mengangguk.

Tiba-tiba mak lampir nyeletuk. “Oh, yang itu sih gampang. Sini aku jelasin pakai bahasa inggris yang bener. Biar kalian ngerti.” Katanya menyindir. Laura menarik buku ku lalu menjelaskannya dengan bahasa inggris yang lancar. Aku mendengarkannya dengan seksama. Mencocokkan dengan cara bahasa Indonesia. Yah…mirip-mirip sih. Nanti kalau aku disuruh ngulang dengan bahasa Indonesia, aku tinggal menjelaskan cara yang aku ngerti.

Laura tersenyum puas. “Kamu bisa mengulangnya dengan bahasa Indonesia?” kata Laura meremehkan. Seperti nya dia mencium gelagat kalau aku tidak fasih berbahasa Inggris. Mereka bertiga menatapku. Mereka tau aku tidak bisa bahasa Inggris. Aku cuma tersenyum jail.

“Gampang.” Kata ku mantap. Dengan pede nya aku menjelaskan dengan bahasa Indonesia. Tentu saja bukan berdasarkan kata-kata Laura tadi. Ini cara ku sendiri. Kalau boleh jujur, aku sama sekali ga ngerti apa yang dikatakan Laura. Mungkin kalau tempo nya diperlambat, aku bisa. Aku cuma membaca gerakkan tangannya yang menunjuk-nunjuk angka, lalu mencocokkannya dengan caraku. Hahaha…aku pintar juga.

Wulan, Juli dan Bhebi terbengong. Saling tatap lalu dengan refleks mereka bertepuk tangan untukku. Aku geli sendiri. Mereka tau tidak ya, kalau aku cuma mengakali saja? Hehe…

“Wah, ternyata kalian semua pintar bahasa Inggris?” Tanya Revand takjub. Laura merengut lagi. Lalu dia bangkit dan meninggalkan kami. Kami saling pandang dan menahan tawa. Setelah Laura cukup jauh, mereka langsung bertanya bagaimana aku bisa mengerti bahasa Laura yang nyaris sulit ditangkap.

Aku memberi isarat mereka supaya mendekat dan membuat lingkaran. Revand juga ikut melingkar. Sebenarnya aku malu kalau Revand juga harus mendengar ini. Dia jadi tau kalau aku ini tidak bisa bahasa inggris. Yah, biar saja. No body’s perfect.

Mendengar perkataanku, mereka bengong sesaat lalu tertawa terbahak-bahak. Bhebi sampai guling-gulingan dilantai. Wulan tertawa sambil sibuk menyuruh kita diam. Juli menggebrak meja sampai Revand kaget.

“Yah, walaupun kamu ga pinter bahasa inggris, seenggaknya kamu cerdik disaat kepepet kayak tadi. Kalau aku jadi kamu, mending aku ngaku aja deh,” kata Revand membuat ku terdiam. Oh, oh. Revand memuji ku cerdik. Aku cewek cerdik katanya! Hahaha…senangnya! Hei, hei. Ingat, dia juga jadi tau kamu tidak bisa bahasa inggris, Nya, kata ku mengingatkan diri sendiri.

“Hai semua. Istirahat dulu yuk. Ini aku buat kue untuk kalian,” kata Laura riang sambil membawa toples berisi kue beracun tadi.

“Apaan tuh? Kok kayak kotoran ayam sih?” kata Wulan refleks. Aku tersedak kata-kata ku sendiri. Bhebi menelan ludah sebelum tertawa ngakak.

“Ini cookies. Aku buat sendiri.” Kata Laura pahit. Sepahit kue nya.

“Bukan mirip kotoran ayam, tapi kotoran kuda yang diinjek.” Timpal Juli. Kami semua langsung terdiam. Kurang ajar bener Juli ini. Jiwa premannya keluar nih kayak nya. Kami menghela nafas barengan.

“Maaf kalau bentuknya jelek. Tapi rasanya enak kok. Makan ya!” Laura membuka tutup toples dengan senyum mengembang. Kelihatannya dia mengira kalau kita akan merasa ga enak sama dia, lalu dengan terpaksa makan kue nya dan memujinya enak. Mimpi!

“Aku coba deh satu,” kata Juli seraya mencomot kue nya. Gawat! Emergency! Darurat! Sial tiga belas!

Juli terbatuk lalu minum banyak-banyak. Laura memasang tampang lugu nya. “Ga enak ya? Maaf. Aku baru belajar.” Kata nya polos. Aku yakin di kepala nya pasti berpikir kalau Juli akan menimpali begini, “Oh, enggak kok. Enak. Tadi aku Cuma keselek aja,”

Hah!! Jangan mimpi. Dengar saja apa yang akan Juli katakan. “Aduuh. Kacau gini rasa nya. Kue bukan sih? Jangan-jangan ini beneran kotoran kuda di oven lagi!” Juli meletakkan sisa kue nya di meja. Kami saling pandang. Sialan Juli. Kata-kata nya kena banget. Lihat saja muka nya Bule Jerman itu. Merengut abis. Aku jadi sedikit kasihan dengannya. Kita keroyok begini.

“Eh, cobain deh. Siapa tau lidah nya Juli yang eror,” kata ku sambil mengedipkan mata pada Juli. Mereka semua menurut dan ikut mencoba walaupun wajah mereka seperti disuruh menggigit kecoa hidup-hidup.

Bhebi mengendus-endus kue yang di pegang nya. Lalu pelan-pelan dia menempelkan kue itu ke lidahnya. Bhebi menggigit ujung kue nya lalu mengernyit. Dia meletakkan kue itu di meja dengan jijik.

“Kayak nya lidah nya Juli ga eror deh. Tapi kue nya yang eror,”

Aku menelan ludah. Mau tidak mau aku juga harus mencoba nya. Penasaran juga sih sana rasa nya. Aku menggigit nya secuil lalu menelan dengan pahit. “Pahit banget. Kamu oven berapa lama sih, sampai gosong gini?”

Laura merengut hampir menangis. Tiba-tiba dia berdiri. “Orang- orang disini emang ga punya sopan santun! Ga bisa menjaga perasaan orang!”

Kami bertiga terkejut. Lalu saling pandang. Wulan ikut berdiri. “Diam kamu.” Bentak Wulan. Kaget juga ngeliat Wulan tiba-tiba marah.

“Berhenti nyari simpati Revand. Kamu yang ga punya perasaan. Kamu udah tau kan kalau kue itu rasanya ga enak. Kenapa kamu maksa kita buat nyoba? Hah? kamu sengaja kan?”

Kami saling pandang melihat Laura yang hanya diam. Beberapa saat dia hampir menyahut, tapi di potong oleh Wulan.

“Dan jangan pernah bilang orang-orang disini ga punya sopan santun! Kita sopan atau ga sopan, ga ada hubungannya dengan Bali! Itu semua karna kamu yang mulai. Kamu sopan, kita juga bisa sopan! Kamu ga sopan, kita bisa jauh lebih ga sopan! Kalau kamu ga betah disini, balik aja ke Jerman! Aku capek ngurusin tingkah mu yang macem-macem!”

Suasana hening beberapa lama. Aku berdiri menghampiri Wulan yang masih terengah-engah. Memegang pundaknya dan mendudukannya di karpet. Aku memandang Juli dan Bhebi. “Kayak nya kita pulang aja deh,” sahut ku sambil berdiri. Bhebi dan Juli memangdang ku. Aku memberi isarat supaya mereka nurut aja. Mereka membereskan buku lalu ikut berdiri.

“Kita pulang dulu ya,” kata Juli dan Bhebi. Mereka masih diam saja sampai kita keluar rumah. Aku sempat melihat wajah Revand yang malu dan marah. Dia ga memandang siapapun dirumah itu. Cuma melihat keluar dengan kesal. Aku heran kenapa dia tidak melerai mereka. Apa karna dia tidak bisa memihak salah satu dari mereka? Aku menepis semua pikiran dikepala ku. Terserah saja lah.

“Anya! Kok kamu diem aja sih, anak-anak pada bercanda tuh di panggung? Tumben kamu ga marah?” Rani duduk disamping ku. Dia meneliti wajah ku. Jengah juga. Aku mendorong wajah nya menjauh.

“Aduuh! Eh, aku ini lebih tua tau! Ga sopan!” dia membalas menoyor kepala ku.

“Halah, beda Cuma lima hari doang bangga banget sih?” aku mencibir. Rani ketawa geli. Wajah nya kembali serius.

“Eh, eh. Serius nih. Kamu dari tadi tuh diem aja. Kenapa sih? Biasa nya nih, kalau udah pada ribut kayak gini, kamu bakal ngomel-ngomel. Terus kalau ga ada yang ngedengerin kamu ngomel, kamu bakal ngambul. Kok sekarang enggak ya? Ajaib tau ga? Anak-anak juga pada sadar tuh kamu kayak gini. Tapi mereka ga berani nanya. Takut di omelin katanya. Hahaha…,”

Aku menaikkan dagu Rani agar dia berhenti ketawa. Rani langsung cemberut. Aku menempelkan telunjuk di bibir ku sambil memasang mimic kalau dia itu berisik banget. Lalu aku memegang kepala ku seolah aku pusing berat.

“Ngerti?” kata ku kemudian. Dia manyun lalu pergi meninggalkan ku. Di tengah jalan dia berbalik, lalu menyodorkan pantat nya sambil menepuk-nepukkannya kearah ku. Aku balas menaikkan hidung dengan jari.

“Cut!” teriakku. Mereka semua diam memandang ku. Kemudian mereka saling pandang tanda mengerti aku sebentar lagi akan marah.

“Kamu harus nya sadar dong ada orang di depan mu. Jangan cuma diem aja. Usaha buat nyari bloking yang enak. Yang bisa diliat orang.” Kata ku pada Inung. Dia mengangguk. “Kamu juga!” aku berpaling pada Ele yang langsung menggigiti jari nya. “Sadar kalau ada orang di belakang mu. Kalau mau ngelangkah, sekalian. Jangan tanggung gitu. Jadi nutupin pemain lain.” Dia mengangguk.

“Ulangi adegan barusan.” Aku kembali duduk dan memperhatikan mereka. Mereka berbisik-bisik sebentar lalu mulai berakting lagi.

Aduuh..aku ini kenapa sih? Kasihan juga mereka. Aku malah marah-marah ga jelas. Ini semua gara-gara kejadian tadi siang itu. Bikin aku ga konsen aja. Kenapa ya Revand diem aja kayak gitu? Jangan-jangan di juga suka sama bule Jerman itu. Makanya dia ga bisa ngebela Wulan. Aduuh… gimana nih? Kacau urusannya.

“Yok. Latian nya sampai disini aja.”

Itu bukan aku yang ngomong. Aku tolah-toleh mencari sumber suara. Tiba-tiba ku melihat cowok berperawakan tinggi kurus dengan mata agak belok plus rambut keriting yang ga asing lagi buat aku dan anak-anak teater lainnya. Itu Tomo, pelatih teater ku. Aku menghela nafas. Beberapa anak yang berdiri diatas panggung langsung kebingungan saling pandang. Mereka berhambur turun dari panggung dan ikut duduk melingkar. Aku menutup buku catatan ku kemudian beringsut ikut melingkar. Tomo diam sambil memandangku. Aduuh.. ini yang paling bikin aku takut setelah hantu. Mata nya itu berasa mau nelen! Aku menarik napas dalam-dalam.

Baru aku akan bersuara, Tomo memotong nya. “Kalian udah hebat semua ya?” sindir nya. Beberapa anak mulai menunduk. Termasuk aku.

“Kalian belum dapet apa-apa dari latihan ini, tapi udah mulai bercanda kayak tadi. Apa kalian yakin bisa bermain bagus dalam waktu satu bulan? Saya aja ga yakin kok. Ya, kalau ngeliat dari cara kalian latihan tadi.” Tomo memandang kami satu persatu. Dan mata nya berhenti di mata ku. Mampus aku! Sebisa mungkin aku menatap nya. Duuh… baru dua detik saja aku sudah menunduk lagi.

“Sutradara nya aja ga serius. Gimana actor nya bisa serius. Actor nya lagi latihan, sutradara nya ngelamun.” Tomo tertawa sinis. Duuh…rasa nya di kepala ku ada batu segede kulkas deh. Aku menangkap tatapan iba Rani seolah menyuruhku sabar. Aku Cuma bisa menunduk.

“Gimana ini bu sutradara? Pemainnya terlantar.” Kata Tomo lagi. Aku melempar senyum bersalah pada Tomo. “Pemainnya sabar ya. Kalian usaha dulu sendiri. Bu sutradara lagi pusing, pusiiing!” Tomo menggeleng-gelengkan kepala sambil memasang tampang kesakitan. Kalau orang yang ga kenal dia, bisa dikira sakit kepala beneran. Aku bener-bener ga enak hati sama temen-temen. Tapi aku bisa menangkap tatapan simpati mereka. Andai aja mereka tau kalau aku gelisah begini gara-gara cowok…. Habislah aku!

“Pokok nya aku sebel banget sama kak Revand!” kata Wulan mengakhiri ceritannya. Tadi pagi Wulan udah bikin gempar kelas. Dateng-dateng dia langsung nggebrak tasnya ke meja. Nabrak semua orang yang ngalangin jalannya. Udah kayak preman Pasar Badung gitu deh. Pas kita tanya kenapa, eh, dia langsung nyerocos ga berhenti cerita. Dia bilang kemarin Revand ngomelin mereka-Wulan dan Laura- berdua. Katanya Revand marah dan malu banget sama kelakuan mereka. Berantem didepan kita. Aku sedikit banyak ngerasa bersalah juga. Yah, sebenernya kan kita berempat yang punya rencana buat mojokin si Jerman itu. Rencana awal buat ngorek informasi tentang Revand, malah banting stir jadi sindir menyindir. Eh, kita jual, dia beli. Ya gini deh akhir nya. Aku yakin deh, kalau kita bertiga juga adiknya Revand, pasti kita juga diomelin.

“Ngapain sih dia ga ngebelain aku yang adiknya snediri. Malah di marah juga!” kata Wulan emosi. “Harusnya aku yang dibelain dong. Ya ga?” Tanya Wulan minta persetujuan dari kita. Tapi kita semua cuma saling pandang kebingungan. Aku yakin isi kepala kita semua sama.

“Eh, tapi kita juga salah lho Lan,” Juli menyahut yang langsung diiyakan aku dan Bhebi. Wulan memasang tampang bingung dan sebal.

“Kita salah apa emang nya?”

“Ya…kan kita duluan yang mulai mojokin si Bule kampung itu,” kata Juli. Kita berdua ngangguk lagi. Juli menoleh pada kami berdua dengan kesal. “Kalian jangan manggut-manggut aja dong! Ngomong kek!” Juli menarik rambutku dan Bhebi berbarengan.

“Iya, iya. Tapi jangan narik-narik dong.” Aku membenarkan kuncir kuda ku yang langsung miring. “Iya, gitu. Bener yang dibilang Juli,”

“Alah, gitu doang. Kirain mau ngomong apa,” Juli menarik lagi kuncir kuda ku. Kali ini sampai karet nya melorot kebawah. Aku menepuk paha Juli keras sampai dia mengaduh.

“Kalau menurutku, kita damai aja deh sama Bule Jerman. Masalah kita sebel sama dia ya tetep sebel. Tapi pakai cara sportif. Kita kan dari kemarin keroyokan tuh,” Bhebi berkomentar.

Juli berdecak. “Wuih… bisa kene timpal cang,” kata nya dengan bahasa bali. Arti nya “Wuih…Bisa kayak gini temen ku,”. Wulan jadi ketawa juga denger omongan Juli.

“Kamu kok gitu sih Jul?” tanya Bhebi dengan mimik tersinggung.

“Eee, enggak deh. Bhebi kan emang TOP!” ralat Juli cepat-cepat.

Wulan kembali diam dan menatap jendela kelas. Kalau suasana tidka sedang kaku begini, aku pasti akan meledekinya sok sedang bikin video klip.

“Naaah! Dari pada pusing-pusing mikirin tuh bule, mending ntar sore kalian nonton Resman tanding basket!” kata-kata Juli membuatku semangat 45. Aku langsung mengagguk. Bhebi memandang Wulan yang masih diam. Aku tau arti tatapan Bhebi. Wulan yang di tatap jadi bingung sendiri. Melihat mata Bhebi yang mendadak kayak anak anjing minta susu, Wulan langsung berdecak kesal.

“Iya, iya, ntar aku jemput kerumah mu,” Wulan mulai membongkar isi tas nya. Entah apa yang dia cari. Bhebi langsung berhambur ke pelukan Wulan. Yang di peluk Cuma diem aja.

“Ya ampun…. Kamu tuh emang temen yang paling perhatian deh,” setelah berkata begitu Bhebi mencium pipi Wulan dengan bibir dalam nya sampai pipi Wulan basah. Wulang langsung berteriak jijik sambil mengusap pipi nya.

Aku berpaling pada Juli. “Jul,” alis ku bergerak naik turun.

Juli langsung mencibir. “Iya, iya. Entar aku yang jemput,”. Juli langsung ngacir saat melihat ku bergerak akan mencium pipi nya. Aku ketawa ngakak.

Setelah Juli datang kerumah, kita langsung berangkat menuju rumah Wulan. Berhubung rumah nya dekat dengan GOR, jadi kita berkumpul dirumah Wulan. Nah ini dia yang aku suka. Rumah Wulan emang surga sekaligus neraka. Surga, karena ada bidadara yang ganteng, yang tak lain dan tak bukan adalah…Kak Revand tentu saja. Neraka nya, siapa lagi kalu bukan dua kakak beradik berbulu lebat dan bertaring panjang dengan lidah menjulur. Aline dan Clausie.

“Jul, entar siapa aja yang tanding?” tanya ku sambil mata tetap was-was kearah aline dan Clausie. Juli cekikikan melihat tingkahku.

“FE ngelawan Tekhnik,”

Kepalaku berputar cepat ke arahnya. Anjing-anjing itu sudah lenyap dari kepalaku. Juli sempat kaget melihat reaksiku. Revand kan kuliah di FE, dan dia anak basket. Itu berarti…

Mata Juli berbinar. “Oh iya, ya. Aku ga kepikiran sampai sana,” katanya seolah pikirannya sama denganku. Aku langsung tersenyum gembira. This’s my lucky day.

Lamunanku buyar saat mendengar Aline-atau Clausie, aku tidak bisa membedakan mereka berdua-menggonggong diiringi Wulan dan Bhebi yang muncul di pagar.

“Berangkat ibu-ibu!” celetuk Bhebi ceria. Mungkin dia sudah tau ada Revand di sana.

Ternyata Wulan lebih bodoh lagi. Bisa-bisanya dia kaget saat melihat kakaknya di GOR. Dia tidak tau kalau kakaknya itu sekarang bertanding basket. Tadi dia memang melihat Revand pergi dengan seragam basketnya. Tapi dia hanya mengira Revand latihan biasa. Dan Bhebi tentu saja melonjak girang. Bhebi yang biasanya datar saja soal nonton basket, jadi girang setengah mati.

“Emang, kalau udah jodoh ga akan kemana-mana,” Narsisnya kambuh.

Aku mencibir. Jodoh apa?

“Go FE go!!” teriakan Bhebi nyaring ditelingaku. Aku melotot yang disambut cengiran nakalnya. Mataku kembali focus pada Revand. Ya tuhan, dia ganteng sekali dengan kaus basketnya. Ternyata lengannya berotot dan seksi ditambah keringat yang membuatnya makin seksi. Ya tuhan. Apa yang kupikirkan sebenarnya?!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut

Mengenai Saya

Denpasar, Bali, Indonesia
novelis beken n best seller. ada yang mau protes??