Rabu, 24 Juni 2009
aku salah ga ya?
ga tau deh, dia percaya karena ngerasa omonganku emang bener, atau karena cara ngomong ku meyakinkan. kadang abis ngomong, aku suka mikir sendiri. emang bener yang tadi aku omongin? itu kan cuma persepsi ku aja. kalo diterapin sama mereka, aku ga tau bakalan gimana. aku cuma berusaha memposisikan diri di posisi mereka.
kadang berhasil, kadang juga ga. yah, banyak berhasilnya sih. seneng rasanya bisa ngebantu masalah orang. rasanya aku jadi bisa berguna dan dibutuhin sama orang lain. mungkin ni juga yang bikin aku pengen masuk psikologi kalo ya?
Sabtu, 20 Juni 2009
Dear dairy-Mocca
Dear diary,
letme tell you about my story
i know it's rather sad
but that's theway i fell
dear diary,
i don't know if this right or not
start it thingking of leaving him
but i'm afraid it might hurt him
all i want is
for everything the right place
and(so) everyone is happy
is that too much to ask for
dear diary,
strong is not exaclty the right word
start it thingking of leaving him
but i'm afraidit might hurt him
dear diary,
strong is not exaclty the right word
i don't know what to do know
confusion is all over me . .
Dear diary,
MOCCA
pernah ga kalian ada diposisi cewek itu? atau justru diposisi cowok nya?
dua-dua nya sama-sama berada di posisi yang sulit. pasti menderita banget deh yang jadi ceweknya, serba salah. tapi jelas yang jadi cowok itu juga menderita. apalagi sampai tau gimana perasaan ceweknya yang sebenernya.
Jumat, 19 Juni 2009
cerpen quw . .
Leher ku sudah mulai keram. Dari tadi aku terus memperhatikan cowok di kelas seberang. Entah kenapa aku baru sadar ada cowok se-cute itu di sekolah ini. Padahal sudah dua tahun lebih aku sekolah di sini. Dulu memang pernah sih aku ngeliat dia. Tapi cuma sekilas. Karena ku pikir dia kelas tiga. Jadi ku pikir dia pasti udah lulus saat aku naik kelas dua. Tapi ternyata…oh…terima kasih Tuhan aku dipertemukan oleh nya.
Aku segera menundukkan kepalaku saat dia menoleh padaku. Aku menggigit bibirku dengan gemas. Mudah-mudahan dia ga sadar kalau dari tadi aku memperhatikannya. Aku menunggu beberapa saat. Mungkin kalau ku dongakkan kepalaku sekarang, dia sudah ga melihat kearahku lagi. Pelan-pelan kudongakkan kepalaku sambil melirik kearahnya.
Uppss…
Dia melihatku! Dia masih memandangku saat ini! Aku segera menetralkan sikap dan jantungku. Sebenarnya ini ga boleh terjadi. Kalian tau kenapa? Karena aku sudah punya seorang cowok. Pacar maksudku. Dan rumahnya dekat dengan sekolah. Bukankah itu kesalahan yang fatal? Aku tau itu. Tapi aku ga bisa menahan perasaan ku. Aku juga ga bisa memutuskan hubungan ku dengannya. Karna ini semua salah ku.
Ini kedua kalinya aku berpacaran dengannya. Dulu sempat putus. Kemudian kami balik lagi. Sebelum itu, aku beberapa kali minta putus dari nya, tapi dia sama sekali ga mau melepaskanku. Setelah bersusah payah, akhirnya dia mau juga. Tapi disini letak kebodohanku. Saat dia mengajakku ‘balik’, aku malah menerimanya kembali. Huwaa…kupikir saat itu aku masih sayang padanya. Tapi ternyata tidak. Apa lagi setelah bertemu Surya. Cowok cute tadi. Jadi mau ga mau, aku yang akan menunggunya minta putus. Jadi apa aku salah??
Ngomong-ngomong soal Surya, aku rasa dia belum menyadari keberadaanku. Karena kelas kami beda. Kelas nya berada diseberang kelas ku. Jadi setiap pelajaran aku bisa mencuri pandang padanya. Dan beberapa kali aku kepergok guru sedang menoleh keluar kelas. Dan untung saja jika guru menghukumku dengan memberikan soal , aku bisa menjawab. Bagaimana tidak? Hei, hei. Aku bintang di kelas ini.
“Liat apa sih?” leherku hampir patah mendengar bisikan Fitri teman sebangku ku. Aku gagu sebentar. Bingung harus menjawab apa. Memang, tidak ada yang tau soal perasaan ku pada Surya.
“Ga liat apa-apa. Cuma males aja dengerin guru nyebelin itu ceramah,” sahutku ngeles. Aku melirik Bu Supriati yang sibuk ceramah soal kedisiplinan. Ceramah ini sudah sangat ku hafal. Karena setiap Sabtu pagi dia selalu mengawali belajar dengan ceramah yang sama sampai kita bosan. Cepat-cepat ku alihkan perhatian pada buku agar Fitri tidak bertanya lagi.
Oh, oh. Aku tidak bisa makan. Kalian tau kenapa? Karena di depanku ada SURYA. Surya yang cute abis itu! Aku menggigiti sedotanku sampai gepeng. Aku gemas sekali melihatnya. Duh, ngidam apa sih ibunya waktu hamil dia? Kenapa bisa punya anak se-cute dia?
Tiba-tiba aku merasa kepalaku ditepuk seseorang sampai sedotan yang ku gigiti menyodok pangkal tenggorokanku. Aku tersedak dan batuk habis-habisan. Ku toleh ke belakang, Teman sekelasku, Andi, cekikikan melihatku. Ku kepalkan tangan kearahnya masih sambil terbatuk-batuk. Rara, sahabatku, mengelus-elus punggungku sambil memaki Andi. Dan aku baru teringat! Di depanku ada Surya! Ya ampun. Aku pasti tampak bodoh sekali tadi. Aku merasa wajahku mulai memanas. Aku coba mendongakkan kepalaku dan mendapatinya sedang tersenyum melihatku! Dia tersenyum! Hei, dunia! Cowok cute bernama Surya tersenyum padaku! Wajahku bertambah panas. Entah karena kebodohanku atau karna apapun, terserah. Yang jelas aku bisa melihat senyumnya! Huwa…
“Anya, ngaku deh,” kata Rara tiba-tiba. Aku yang sedang merapikan baju di kamar mandi menoleh heran.
“Ngaku apa?” kata ku sambil tetap sibuk memasukkan baju ke dalam rok.
“Kamu lagi naksir cowok kan?” tembak Rara langsung tanpa ampun. Aku nyaris tersedak kata-kata. Cepat tanggap juga nih anak. Aku memilih kata-kata yang pas untuk menjawab pertanyaannya.
“Jangan ngeles deh,” katanya lagi membuatku cengar-cengir tengil.
“Kok tau sih, Ra?” Nyerah deh.
“Ya ampun. Kita ini sahabat bukan sih? Jelaslah aku tau. Kita kan selalu bareng-bareng. Ga care namanya, kalau sampai aku ga tau,” kata nya membuatku terharu.
“Duh, kamu emang sahabat yang baik deh.” Kata ku melankolis. “Tapi jangan bilang sama Fitri dan Vivi dulu ya. Aku masih belum siap bilang ke mereka.” Pinta ku melas.
“Iya, tenang aja. Lagian aku udah tau kok siapa cowok yang kamu suka,”
Jleger!! Aku mendelik heran. Dia sahabat atau peramal sih? Eh, tapi bisa aja kan kalau tebakannya salah. Aku mengendikkan dagu seolah bertanya siapa orangnya.
“Surya anak 3-3,” aku mendelik. “Bener kan?”
“Kok tau lagi?” aku tertawa heran. Rara menepuk dada bangga. Aku mencibir. Tapi ku akui dia ini perhatian banget sama sahabatnya.
“Aku perhatiin lagi, kamu tiap hari nengok ke kelas sebelah. Bangkumu kan sejajar dengan bangkunya Surya. Terus tadi di kantin kamu salah tingkah gitu. Dan dia juga terus ngeliatin kamu tadi,”
Aku mendongak, tertarik dengan kalimat terakhirnya. “Serius kamu? Dia ngeliatin aku? Kamu ga salah orang? Mungkin dia ngeliatin orang di belakangku?”
“Bener. Masa sih aku bisa salah liat. Memang nya kenapa kalau dia ngeliatin kamu? Aneh?” Rara mengajakku keluar kamar mandi. Kita udah terlalu lama di dalam.
“Ya, kamu tau kan. Dia itu cute banget, ganteng banget, baik banget, dan cool banget. Masa sih dia bisa ngelirik aku yang biasa-biasa gini?” Duh, padahal aku cuma niat ngerendah. Tapi kenapa aku jadi gelisah juga ya? Yang barusan aku omongin memang ada benarnya. Aku jadi minder beneran. Cewek cantik yang ngantri jadi pacarnya pasti banyak deh.
“Ya ampun. Kenapa enggak? Kamu tuh popular lagi di sekolah. Kita tepatnya. Dia ga mungkin ga kenal kamu. Dan memang nya kamu jelek? Ga kan? Menurutku kamu manis,” kata Rara sedikit mencibir. Baru kali ini dia terang-terangan memujiku. Aku langsung malu. Begitu melihat wajahku memerah, Rara segera menjitakku. Wajahku bertambah merah ketika aku melihat seseorang yang sedang kami bicarakan berada dalam jarak beberapa meter di depan kami. Ya, Surya sedang berjalan berlawanan arah dengan kami. Rara langsung menyikut lenganku yang segera ku balas.
Oh Tuhan. Tubuhku kenapa kaku begini? Otot bibir ku terasa lemas. Aku tidak bisa tersenyum manis. Duh, duh. Kenapa jalanku jadi aneh? Kok rasanya kakiku ga menapak di tanah ya? Sekilas ku lirik telapak kakiku, memastikan kakiku masih menapak di tanah. Dan begitu aku mendongak, Surya tepat berada di depanku. Dari ujung mata, aku meliriknya sampai benar-benar tidak kelihatan lagi. Setelah itu, semua otot-otot di tubuhku kembali normal. Sial! Kenapa tadi? Aku mati gaya di depan Surya! Dan saat aku melihat ke depan, Rara sudah jauh berada di depan, dia tertawa ngakak melihatku. Aku tersenyum kikuk. Duuh..
Aku duduk bersila menunggu jemputan datang. Kenapa lama sekali? Aku melihat hape lagi. Udah lewat 20 menit dari jam pulang sekolah. Duh, untung aja hari ini lumayan banyak yang masih belum dijemput. Dan jantungku nyaris melompat keluar ketika menyadari seorang cowok berdiri di sebelahku bersandar tembok. Siapa lagi kalau bukan Surya. Aku langsung salah tingkah. Aku pasti terlihat seperti anak SD yang melas karna belum dijemput orang tuanya. Tiba-tiba Fitri keluar gerbang sambil celingukan. Aku segera memanggilnya.
“Belum dijemput juga?” Tanyanya dan mengambil tempat di antara aku dan Surya. Nih anak ga tanggep bener sih? Sempat-sempat nya aku melirik Surya.
“Ehm, belum. Mau nganterin?” kataku agak sedikit keras berharap Surya mendengarnya dan berinisiatif mengatarkanku pulang. Ya ampun!
Fitri ketawa geli. “Nganter pakai apa? Pakai angkot mau?” Aku ikut tertawa. Benar juga. Fitri kan pulang naik angkot.
“Maunya aku telepon ke rumah. Tapi pulsaku habis nih,” Wajahku kok jadi melas gini sih? Fitri celingukan.
“Mau aku cariin pinjeman hape ga?” Tanya nya. Belum sempat aku menjawab dia keburu berdiri dan gilanya dia menghampiri siapa? Benar. Dia menghampiri Surya yang asik sms-an. Dan dengan wajah tololnya Fitri mengatakan kalau teman nya-yaitu aku-sedang butuh pinjaman hape untuk menelepon minta jemput. Dan gilanya, Surya langsung saja mengiyakan. Aku langsung terpesona. Aku anggap perbuatannya itu sungguh mulia. Bahkan kalau dia hanya memungut sampah pun, aku akan menganggapnya perbuatan mulia.
“Nih pake,” kata Fitri menyodorkan hape Surya. Aku menatap hape dan Surya bergantian. Surya sama sekali tidak memperhatikan hapenya akan dipakai siapa. Dia malah sibuk mengaduk-aduk tas. Hallo Surya? Aku disini! Aku yang akan meminjam hapemu! Tapi Surya tetap tidak menoleh.
Aku langsung menolak tawaran Fitri dengan alasan tidak enak dengan Surya. Tapi Fitri memaksa. Untung saja tidak lama setelah itu, jemputanku datang. Akhir nya mau ga mau Fitri nyerah juga. Aku langsung pulang saja. Surya tak ku hiraukan.
Sebal juga ingat kejadian tadi. Padahal aku ada di sebelah Surya. Tapi kenapa dia tidak menoleh sama sekali. Padahal kata Rara waktu di kantin dia memperhatikanku. Apa itu cuma perasaan Rara saja. Jangan-jangan benar dia hanya melihat orang yang ada di belakangku. Lalu Rara mengira Surya memperhatikanku. Duuh, aku mikir apa sih? Surya jelas-jelas tidak bersalah. Dia hanya sedang mengaduk-aduk tasnya. Apa salahnya? Mungkin dia memang tidak melihatku. Tapi masa sih?
Hapeku bergetar. Aku meraihnya malas-malasan. Siapa sih yang sms siang-siang begini. Jam orang tidur. Aku mendengus. Pacarku. Aduh, ini satu lagi. Aku masih bingung. Dia terlalu baik untukku. Terlalu sabar. Terlalu perhatian dan serba terlalu yang lainnya. Tapi apa yang ku lakukan. Kalau sampai dia tau pacar tersayangnya yang dijaga seperti guci cina ini menyukai orang lain, mungkin aku akan langsung dilempar dari atas gedung bertingkat. Tidak, tidak. Dia terlalu baik untuk melakukan itu semua. Bagaimana ini, aku harus memutuskan sesuatu. Aku harus memilih antara Surya dan pacarku. Kalau aku memilih pacarku, tapi… aku udah terlanjur naksir berat sama Surya. Tapi kalau aku memilih Surya, aku tidak tega menyakiti cowok baik ini. Apa lagi belum tentu Surya juga suka padaku.
Sudah kuputuskan. Aku akan melupakan Surya. Aku akan mencoba kembali pada pacarku. Aku harus konsen. Jangan menoleh lagi kekelas sebelah. Aku menarik napas panjang… sekali. Lalu menghembuskannya perlahan. Aku mengulanginya beberapa kali. Lumayan. Aku sudah tenang.
“…”
“Kamu kenapa, Nya?” bisik Fitri sambil menyodorkan buku pura-pura bertanya.
Aku menuliskan sesuatu di bukunya seolah memberi jawaban. “Kenapa apa?”
Fitri mengangguk-angguk ngerti. “Kamu dari tadi kayak nahan kentut tau ga? Muka mu itu lho,” aku menoleh pada Fitri yang sekarang sedang meniru wajahku. Aku nyaris ketawa. Masa sih wajahku seperti itu? Dan saat aku sedang menahan tawa, mataku tiba-tiba bertumbukan dengan cowok kelas sebelah yang selalu ku perhatikan. Aku mengutuki diriku sendiri. Kenapa refleks kepalaku selalu menoleh kearah sana? Apa Surya sudah lama memperhatikanku? Apa tadi aku melakukan sesuatu yang bodoh. Dan, oh ya ampun. Tadi Fitri bilang aku seperti sedang menahan kentut. Apa Surya melihatnya?
Aku terperanjat ketika Fitri menyenggolku. Aku langsung menyuruhnya diam. Aku melayangkan padangan bertanyaku padanya. Dia malah memberi isarat untuk melihat kelas seberang. Dan Surya masih memperhatikan ku-atau kami aku tak tau. Surya mengalihkan tatapannya. Aku pura-pura bertanya ada apa pada Fitri.
“Cowok itu selalu ngeliatin kamu tau ga?” bisiknya nyaris membuat jantungku jejingkrakan.
Aku menetralkan sikap. “Oh ya?”
“Oh ya? Oh ya?” Fitri mencibir. “Udah deh ngaku aja. Kamu juga suka ngeliatin cowok itu kan? Aku sering mergokin kamu lagi ngeliatin cowok itu kok,”
Aku hampir berteriak saking kaget nya. Ternyata kelakuanku begitu kentara. Aku cuma senyum-senyum malu. Tapi bagi Fitri itu sudah merupakan jawaban iya. Aku menoleh lagi ke samping belum sempat aku melihat wajah cute Surya, aku dan Fitri berteriak kaget karena tiba-tiba sebuah penghapus papan tulis mendarat di meja kami.
“Kalau kalian mau pindah ke kelas sebelah, pindah saja sana!” kata Bu Sanimah sangar. Aku dan Fitri menunduk dalam-dalam. Lewat sudut mata kami saling menyalahkan.
“Mbak, pop ice vanilla blue satu ya,” kataku pada Mbak Ririn, penjaga kantin. Aku membungkuk membenarkan tali sepatuku yang kendor. Tiba-tiba dari belakang seseorang mengetuk punggungku. Aku yang masih membungkuk menoleh malas-malasan lewat celah tangan ku. Dan seseorang itu adalah Surya! Aku mematung sebentar.
“Bisa geser? Aku mau lewat,” katanya lembut.
Refleks aku bediri tegak dan tepat saat itu juga, kepalaku terbentur nampan yang sedang dibawa Mbak Ririn. Aku mengaduh kesakitan. Surya hanya tertawa pelan. Rasa sakitnya itu sih ga seberapa, tapi malunya dibawa sampai mati! Kenapa sih aku selalu terlihat bodoh di depan Surya?
“Duh, Nya. Pelan-pelan dong. Untung aku ga bawa apa-apa di atas nampan nya,” kata Mbak Ririn sambil mengelus kepalaku.
“Iya mbak, maaf. Ga sengaja.” Aku berlalu dari sana. Malu.
“Anya!”
Aku berhenti. Itu suara Surya! Surya memanggilku. Aku-senang-sekali. Dia tau namaku. Jangan-jangan dia mau mengajakku kenalan. Atau mungkin dia mau minta maaf. Bunga-bunga di hatiku langsung mekar semua. Aku menoleh dan memasang senyum termanisku.
“Ya?”
“Kamu belum ambil pesenanmu nih,” katanya menunjuk pop ice yang dibawa Mbak Ririn dan membuat bunga-bunga ku bubar jalan. Ya ampun!
Tiba-tiba hapeku bergetar. Aku mendengus. Dari Rian, pacarku. Aku menimbang-nimbang. Angkat. Tidak. Angkat. Tidak. Tidak angkat. Benar tidak usah diangkat saja. Aku mengambil pop ice ku dan segera berlalu. Kalau melihat Surya saat teringat Rian, aku jadi merasa bersalah pada cowok baik seperti Rian. Dia tidak pantas ku perlakukan seperti ini. Kenapa aku plin-plan sekali. Bukankah aku sudah memutuskan akan setia pada Rian? Tapi kenapa aku terus berharap pada Surya? Anya, hentikan semua ini. Kamu harus fokus. Fokus. Fokus…
“Hei!”
“Eh, Fokus!” kata ku kaget. Aku berbalik dan berniat menyembur siapa pun yang mengagetkanku. Kecuali dia…..Surya. Aku memutar tubuhku ke depan lalu berbalik lagi. Masih Surya. Benar. Ini Surya. Ya ampun. Kenapa dia selalu muncul di saat aku ingin melupakannya. Kamu menyiksaku, tau tidak?
“Sori. Kaget ya?” katanya lembut. Kenapa kamu bicara lembut sekali? Aku jadi seperti melayang-layang di…
“Anya,” Surya menggoyangkan bahuku. Aku langsung menoleh pada tangannya yang menempel di bahuku. Surya menyentuh bahuku! Dan rasanya seperti obat bius yang melumpuhkan bahuku. Oke cukup. Aku rasa, aku mulai gila.
“Eh, sori. “ katanya salah paham sambil melepaskan tangannya dari bahuku. Aku hampir tergoda untuk mengatakan, “Jangan lepaskan.”
“Ada apa?’ Tanyaku cepat. Aku takut lama-lama ada dalam jarak kurang dari dua meter darinya akan membuatku terkena serangan jantung. Dia senyum-senyum membuatku makin penasaran dan makin cinta. Rasanya aku benar-benar gila.
“Cuma pengen ngobrol aja. Boleh kan?” Belum sempat aku mengiyakan, Surya berjalan menduluiku. “Kamu biasa nunggu didepan sana kan? Kita duduk disana aja gimana?” Dia berbalik dan tersenyum lagi.
Aku mengangguk cepat. “Ehm,” Semoga dia tidak menganggapku norak. “Terserah,” Aku balas tersenyum berusaha biasa saja. Aku baru akan melangkahkan langkah bahagiaku ketika Vivi memanggilku.
“Anya!” Aku menoleh dan langsung gugup. Aku belum bilang apa-apa padanya. Aku segera berbisik pada Surya agar dia duluan saja dan aku pasti-tidak mungkin tidak-akan menyusulnya.
“Apa?” aku berusaha biasa saja.
Vivi berkacak pinggang. “Kenapa kamu ga cerita sama aku? Kamu mau bohongin aku ya?”
Aku memutar bola mata mencari alasan. “Bilang apa Vi?”
“Bilang kalau kamu lagi deket sama Surya. Rian itu kan temenku. Kamu kok tega sih sama dia?” Vivi menampakkan wajah seolah aku adalah seorang penjahat.
Entah kenapa dalam hatiku terselip rasa bersalah pada Rian. “Aku.. bukannya aku ga mau bilang. Tapi belum aja Vi. Kamu juga bakal aku kasih tau kok. Dan aku juga ga bermaksud bohongin Rian. Aku cuma belum bisa ngontrol perasaan ku.”
“Tapi sama aja kan. Intinya sekarang kamu lagi ngebohongin dia. Kebayang ga sih kalau Rian sampai tau semua ini. Dia tiap hari cerita sama aku soal kelakuanmu yang makin aneh dan menjauh dari dia. Wajah nya tuh sedih banget. Aku ga tega ngeliat dia. Masa kamu tega sama Rian?” Vivi menggelengkan kepalanya tidak percaya. Baru aku akan membela diri lagi. Vivi langsung berbalik dan pergi meninggalkanku. Aku cuma bisa mendesah pasrah. Nanti toh dia akan mengerti.
“Sori lama,” kataku pada Surya yang sudah duduk manis di tempat biasa aku menunggu. Diam-diam aku senang juga dia ternyata memperhatikanku. Sebenarnya duduk disini sangat nekat menurutku. Karna tau kan? Rian itu rumahnya berada di sekitar sini. Bisa saja dia tiba-tiba lewat dan melihatku duduk berduaan dengan Surya. Tapi aku tau. Jam segini Rian sedang jam sekolah.
Setelah itu aku ngobrol asik dengan Surya. Ternyata dia juga udah lama mergokin aku selalu melihat kearahnya. Dia ingin menyapa tapi belum berani. Karna katanya aku selalu dikerubungi teman-temanku. Saat dia berkata begitu rasanya ubun-ubunku meletus saking senangnya. Lalu dia juga bilang aku ini cewek pintar. Dan segala pujian-pujian lainnya yang membuat asap mengepul dari ubun-ubunku. Aku-senang-sekali. Hei, aku ini cewek pintar lho! Tapi roda memang terus berputar. Saat aku sedang asik-asiknya bercerita tentang cerita lucu, seseorang yang-saat ini-sangat tidak ingin aku temui muncul di depanku dengan wajah lesu.
“Ternyata ini penyebabnya,” Aku mendongak kearah suara itu. Aku diam. Rian hanya menatapku dengan matanya yang sendu. Dan itu membuat hatiku terasa sakit. Aku bangkit dan balas menatapnya. Melihat matanya yang begitu sedih aku jadi sadar kalau aku memang jahat. Aku ini seorang penjahat. Bahkan kalau dia memututskanku saat ini juga aku terima. Aku memang pantas…
“Kenapa kamu ga jujur saja? Aku lebih baik tau dari kamu dari pada harus melihat langsung. Kamu tau gimana perasaanku?” Rian menyentuh dadanya dan menekan-nekannya. “Sakit,”
Surya bangkit dan menatap aku dan Rian bergantian. Aku tau dia pasti tidak mengerti. “Sori, kamu siapa?” Tanya Surya yang makin membuatku kacau.
Gawat. Gawat. Gawat. “Aku pacarnya, mungkin.” Katanya sambil menatapku. Aku merasa sangaaat bersalah. Aku melirik Surya yang terkejut. Tapi dia berusaha menyembunyikannya. Surya menatapku dingin. Aku cuma bisa diam.
“Oh. Iya.” Katnaya setengah kaku. Setelah berkata begitu Surya langsung melewatiku begitu saja. Tanpa memandangku. Surya sudah menguap dan sekarang aku tinggal menunggu vonis dari Rian. Dan aku tidak akan mendapatkan apa-apa. Rian diam saja sambil menatapku. Aku tidak berani membalas tatapannya. Dia begitu baik padaku. Dan aku begitu jahat padanya.
“Rian…,”
“Sekarang semua terserah kamu,” aku tersentak mendengar kata-katanya, bahkan saat aku sudah menghianatinya dia masih bisa mempertahankanku. Aku sungguh jahat. “Kalau kamu berharap aku yang akan mutusin kamu,” Rian tersenyum sinis. “Mungkin ga bisa. Jadi silakan kamu yang mutusin semua nya.”
Kata-kata Rian membuatku terharu. Cowok baik seperti dia sangat sial mendapatkan cewek seperti aku. Air mata ku menitik. Rasanya kata-kata putus sudah ada di tenggorokanku. Tapi aku tidak sanggup mengatakannya. Dadaku sesak. Entah kenapa tiba-tiba aku merasa sangat kesepian membayangkan tidak ada Rian. Entah kenapa aku merasa ada yang hilang. Aku menatap Rian yang masih terus menunggu kata-kata yang keluar dari mulutku. Aku tidak bisa merelakan mata itu untuk gadis lain. Melihatku hanya diam saja, Rian berbalik dan berjalan meninggalkan ku. Tidak. Aku tidak bisa.
“Riaaan!!” Aku berteriak sambil berlari kearahnya. Saat Rian berbalik, aku langsung berhambur kepelukannya. Aku tidak peduli orang-orang melihatku dan mengatakan aku sedang bermain film India atau apapun. Yang penting aku tidak mau kehilangan Rian lagi. Aku tidak peduli apa tanggapannya. Memang, sesuatu baru terasa begitu berharga ketika kita kehilangannya. Dia memelukku erat. Aku bahagia. Sangat bahagia. Jangan mengejekku. Kalau kamu ada di posisiku saat ini, kamu pasti mengerti.
good bye Nathan . .
Aku berjingkat-jingkat mendekati Nathan yang sedang bengong di depan rumah nya. Aku tertawa dalam hati. Wajah nya lucu sekali. Mulut nya menganga lebar. Dagu nya bertumpu pada tangan. Apa sih yang sedang ada di otaknya. Aku menahan tawa ku yang hampir meledak ketika ku lihat mulut nya mengatup untuk menelan ludah sesaat, kemudian menganga lagi.
“Dooorrr!!” aku menepuk bahu nya keras sampai dia terlonjak kaget. Aku tertawa habis-habisan. Satu jitakan mendarat di kepala ku.
“Ngapain sih? Kaget tau!” Nathan menarikku sampai terduduk di sebelah nya.
“Habis, muka mu itu lho yang bikin orang ga tahan buat ngerjain,” kata ku dengan sisa-sisa tawa.
“Kenapa? Muka ku ganteng kan?” Tanya nya narsis.
Aku mencibir. “Halah, pasti lagi ngelamunin Via kan?” cerocos ku.
“Jelas donk! Masa ngelamunin kamu! Bosen tau,” sahut nya asal. Aku menjewer kuping nya gemas.
Nathan ini doyan banget mengejekku. Tapi aku ga pernah marah. Aku tau dia cuma bercanda. Kami udah bertemen sejak kecil. Nathan 3 tahun di atas ku. Aku udah nganggep dia kayak kakak ku sendiri.
Dari jauh aku bisa melihat Ipung berjalan mendekat. Ipung itu kakak kandung ku. Dia juga berteman dekat dengan Nathan. Sebenernya ada dua orang lagi yang sering berkumpul dengan kami. Nama nya Adel dan Adit. Mereka kakak-adik, sama seperti aku dan Ipung.
“Ntar kita ngumpul kan?” Tanya Ipung yang langsung duduk di sebelah Nathan. Malam minggu memang paling enak buat ngumpul bareng temen-temen.
“Iya lah. Kalau malam minggu ga ngumpul, bagai laut tanpa air…” kata ku mendayu-dayu. Ipung langsung menoyor kepalaku gemas. Aku masih meneruskan gaya-gaya melankolisku sampai Nathan yang dari tadi diam saja, ikutan ngikik.
“Aku bentar aja ya. Ga bisa lama-lama,” kata Nathan tiba-tiba. Aku spontan berhenti, tangan ku masih menggantung di udara. Biasa nya ini anak paling semangat. Dan selalu protes kalau ada yang pulang awal. “Mimik susu aaaah…,” begitu kata nya kalau ada yang pulang duluan. Maksud nya anak mami, jadi harus cepat-cepat pulang biar ga di marah mami.
“Mimik susu aaaah…” goda Ipung. Balas dendam kali si Ipung. Minggu lalu dia mesti pulang cepat buat bantuin bapak bikin proyek. Dan selama 3 hari penuh, setiap Ipung ketemu Nathan, Nathan selalu memanggil nya seperti itu.
“Enak aja. Aku mau belajar, ujian kan udah deket.” Ngeles aja. Paling-paling mau nelpon si Via.
“Gaya mu sejuta. Ujian kan hari Senin, besok masih Minggu tau. Gini ya, otak kita itu ibarat gelas kaca, air itu ibarat ilmu pengetahuan. Jadi kalau itu gelas kita isi terus-terusan dengan air tanpa kita minum, air itu bakal tumpah kemana-mana. Sama kayak otak kita.” Kata ku sok puitis.
“Jadi maksud mu, isi otakku bakal tumpah kemana-mana gitu?” kata nya konyol. Aku mencibir. Ipung ikutan ngakak melihat tampang blo’on Nathan. Ini anak kadang-kadang kalau bodoh nya keluar, suka kelewatan deh. Kata nya udah di terima di Universitas Udayana regular. Jangan-jangan jawabannya main tebak-tebakan semua.
“Bukan gitu Nathan yang ganteng dan keren abis,” kata ku gemas. “Jadi, kalau kita belajar terus-terusan tanpa istirahat, juga percuma. Otak kita ga bisa nampung semua nya. Otak kita kan juga perlu istirahat. Gitu lho,”
“Orang aja perlu bernapas. Masa otak kita ga di kasi waktu buat napas sih?” tambah Ipung di sambut anggukan ku. Nathan mencibir.
“Iya, iya. Kakak beradik sok melankolis. Sok puitis. Sok pinter,” ejek nya
“Jadi, ntar kamu nginep aja sekalian di rumah Adit.” Ipung menaik-naikan alis nya jail.
Nathan menggeleng. “Ga deh. Aku beneran mau belajar. Aku takut ga lulus nih,”
Dan mulai lah, professor Nathan menjelaskan panjang lebar soal standar kelulusan angkatannya yang baru aja di naikkan oleh pemeritah menjadi 4,25. Dan tetek bengek nya yang bikin aku ikutan ngeri. Masalah nya, aku juga akan menjalani UAN SMP sebentar lagi. Memang sih, SMA lebih dulu ujian, tapi tetap saja kata-kata nya membuat ku was-was. Setelah otot-otot mulut ku dan Ipung mulai kram karna Nathan ga juga mau merubah keputusannya, kita menyerah.
Ipung mencibir. “Ya udah deh. Yang penting ntar dateng. Walaupun Cuma bentar. Oke? Aku pergi dulu ya, mau beli makanan.” Setelah berkata begitu, Ipung langsung berlari kecil meninggalkan kami.
“Aku mau nelpon Via dulu ah,” Nathan mengeluarkan handphone nya.
“Kata nya mau belajar, huh! Tau nya pacaran!” aku mencubit nya. Nathan ga menggubris cubitan ku. Dia memegangi kedua tangan ku lalu di kempit di ketiak nya. Aku berteriak-teriak jijik. Tapi dia malah menyuruh ku diam. Setelah berusaha melepas tangan ku. Aku menciumi permukaan tangan ku. Siapa tau Nathan belum mandi, ga asik kan kalau tanganku bau ketiak nya. Hiii.. keringetan lagi ni anak!
“Halo Via, Nathan nih,” kata nya lembut. Dia langsung beraksi akan menjitakku ketika aku berusaha mengelap tangan ku yang basah keringat di celananya. Padahal kan ini keringatnya sendiri! Dasar.
Aku malah di cuekin. “Via.. aku di siksa sama Nathan! Tolong!” teriakku keras-keras agar Via di seberang sana bisa mendengar ku. Nathan spontan menutup wajah ku dengan telapak tangannya yang besar lalu di dorongnya jauh-jauh. Sebelum aku sempat membalas, Nathan segera memberi isarat agar aku diam. Curang!
“Via, aku cuma mau bilang sesuatu sama kamu,” kata Nathan pelan. Aku ikut diam karna penasaran apa yang akan di katakan Nathan pada Via. Nathan menarik nafas nya pelan lalu menghembuskannya perlahan.
“Aku sayang sama kamu,” kata nya sambil menatap ke depan. Aku mencibir nya. Sok romantis sekali wajah nya. Aku sampai geli.
“Iya, aku tau. Aku cuma mau bilang itu aja,” kata nya lagi. Kemudian telepon di tutup. Nathan menatap ku. “Duh.. lega rasa nya.” Kata nya sambil mengelus dada.
“Hari ini kamu aneh deh.” Aku berdiri dan menepuk-nepuk celana bagian belakang ku. “Udah ah, ntar aku ikutan aneh lagi. Jangan lupa ntar dateng, kalau enggak ku gedor-gedor jendela kamar mu!” ancam ku. Aku segera ngibrit ketika Nathan mengacungkan sandal jepit nya.
“Woi.. itu minum ku,” Adit menyerobot gelas yang hampir mendarat di mulut ku. Dengan gerakan cepat, dia menyeruput minumannya sampai berbunyi ‘Sroooott’ keras banget. Aku mendorong badannya yang menindih sebelah paha ku. Badannya segede gambreng gini nindih aku, bisa gepeng aku!
“Kak Nathan mana?” tanya Adel yang tiba-tiba nongol. Eh, ga tiba-tiba nongol sih, ini kan rumah nya. Rambut nya masih acak-acakan. Dia paling males kalau di suruh sisiran. Padahal rambut nya itu panjang. Kebayang ga?
“Entar lagi juga dateng,” sahut ku.
Lalu aku menceritakan kejadian tadi pada mereka. Mereka langsung ketawa ngakak saat aku bilang Nathan mau belajar untuk ujian. Dan mereka ikut mencibir saat aku bilang tadi dia nembak Via lewat telepon. Mereka bilang itu cuma akal-akalan nya Nathan aja. Paling-paling dia mau nelepon Via sampai malem.
“Hayo..ngomongin orang! Ntar bisulan lho,” Nathan menyerobot pisang goreng di tangan Adit dan menduduki kaki gemuk Adit. Kata Nathan, kaki Adit lebih empuk dari pada sofa dirumah nya.
“Tapi ga pake nyomot makanan orang dong!” Adit menjilati jari nya yang berminyak. Nathan Cuma nyegir.
“Udah belajar nya?” Goda Ipung yang baru datang sambil membawa bungkusan di tangannya. Adel menyambut nya dengan senang hati, Adit segera mendorong Nathan kedepan sampai ia terjengkang.
“Buset, baru keliatan beda nya orang sama gorilla.” Nathan mencomot terang bulan. Padahal di tangannya masih ada setengah pisang goreng. Ini anak serakah bener. Aku mendekati nya dari belakang. Pelan-pelan tapi pasti ku gigit terang bulan di tangan sebelah kirinya. Belum sempat aku menarik kepala ku, Nathan memergokiku. Aku langsung ngacir sambil menutup mulut ku yang penuh.
“Woi.. ada tikus!” teriak Nathan gemas.
“Kok beli nya cuma satu sih?” gerutu Adit.
Ipung langsung mendelik. “Eh, kebo, udah bagus ku bawain makanan. Kan pas tuh isi nya empat.” Ipunk mencomot terang bulan yang potongannya paling besar. Adit melototin tangan Ipung. Ipung malah sengaja menggodanya dengan menggoyang-goyangkan terang bulan ke kanan dan kiri.
“Yang beli dapet yang besar dong!” setelah berkata begitu, Ipunk menggigit besar-besar terang bulannya. Sebelum Adit sempat mengambil potongan yang satu nya lagi, Adel buru-buru mencomotnya. Lagi-lagi Adit melotot.
“Heh anak kecil itu yang kecil aja, sini!”
“Enak aja. Nih aku tandain,” Adel menjilat permukaan terang bulan nya lalu tersenyum jail. Aku bergidik. Ipung juga. Nathan cuma ketawa aja.
“Eh, kita puter-puter perumahan yuk,” ajak Nathan tiba-tiba. Dulu kita hobi banget muter-muter perumahan sampai bensin di motor kita habis. Kadang ada tetangga yang lagi nongkrong di depan rumah, sampai bosan melihat kita bolak-balik di depan rumah nya.
“Eh, anak juragan minyak ya?” ledek nya.
Kita cuma cengar-cengir aja. Ntar kalau udah beneran bosen, dia pasti masuk ke dalam rumah.
Aku ngedumel untuk yang kesekian kali nya. Bisa-bisa nya hari minggu yang biasanya di pakai buat istirahat atau liburan ini, dipakai jam kerja bakti sama orang tua ku. Males banget! Alasannya sih ngeliat rumah baru ku yang ada di daerah Dalung. Tapi sama aja inti nya tuh kerja bakti.
“Duuh.. panas!!” teriak ku kesal. Mama ku pasti pura-pura ga denger deh. Buktinya dia malah asik-asik nyanyi. Padahal dari tadi ga kedengeran suaranya. Ini tanaman apaan lagi? Aneh banget bentuk nya. Aku membolak-balik daun nya. Tanaman ga jelas gini kok di beli. Ih, ada ulat nya!
Tiba-tiba ponsel ku berdering. Aku langsung girang. Dapet kesempatan buat istirahat sebentar sambil ngobrol-ngobrol sama temen. Nanti aku lama-lamain aja deh neleponnya. Tapi begitu aku melihat nama yang tertera di layar handphone ku, aku langsung lemas. Ya ampun.. kirain siapa gitu! Tau nya Ipung. Tumben-tumbenan dia mau nelepon aku. Secara kita satu rumah, ngapain coba ga di omongin ntar aja kalau ketemu dirumah.
“Halo?” sapa ku malas-malasan.
“Dek, kamu dimana?” kata nya cepat. Aku hampir tidak mengerti omongannya.
“Hah, anu, di Dalung. Kenapa?” aku mengempit hape ku dengan bahu. Tangan ku masih blepotan tanah. Aku berjalan menuju kran tetangga sebelah. Mudah-mudahan ga ketahuan yang punya rumah.
“Pulang jam berapa?” katanya lagi.
“Ga tau. Tergantung Mama. Kenapa sih?” aku mengibas-ibaskan tangan ku yang basah.
“Bisa pulang sekarang ga?” Ipunk ga menggubris pertanyaanku.
Nyebelin ni anak. “Bilang dulu kenapa? Kalau ga penting, ntar aja. Masih panas-panas gini. Bisa mateng aku di jalan.” Eh, tapi enak juga sih ga usah ngurusin tanaman-tanaman aneh ini.
“Eh…,”
“Nathan masuk rumah sakit,” kata nya memotong omongan ku. Aku langsung diam. Apa dia bilang? Nathan apa?
“Nathan masuk rumah sakit,” ulang nya seperti membaca pikiran ku.
“Kenapa dia?” Tanya ku setelah bisa menguasai diri. Paling-paling kecelakaan kecil. Kalau itu sih biasa. Nathan memang susah kalau di nasehatin supaya jangan suka kebut-kebutan di jalan.
“Bukan, dia sakit.” Kata Ipung setengah panic.
“Sakit apa? Jangan aneh-aneh deh, dia paling banter sakit diare,” kataku santai. Jangan-jangan gara-gara kemarin makan biskuit yang jatuh ke rumput?
“Duh, udah deh. Jangan kebanyakan ngomong. Cepetan aja ke Rumah Sakit Sanglah. Ntar aku jelasin,” kata nya kesal. Telepon terputus.
Aku masih agak bingung. Tapi aku beranjak juga. Aku mendekati Mama yang sibuk dengan kayu-kayu bekas di tangan nya.
“Ma, kata Ipung, Nathan masuk rumah sakit. Kita di suruh kesana sekarang.” Aku membersihkan baju ku yang blepotan tanah. Duh, dekil begini.
“Hah, sakit apa dia?” Mama langsung ikut membersihkan diri.
“Ga tau tuh. Ipung ga mau bilang. Pokok nya kita di suruh ke Sanglah aja,”
“Ya udah. Nih, rapiin dulu. Mama mau mandi dulu,” Mama meletakkan kayu-kayu yang ada di tangan nya. Setelah berkata begitu Mama langsung masuk kamar mandi. Huh, ada aja yang mesti di beresin kayak gini!
Dari jauh aku bisa melihat beberapa orang tetangga ku yang berkerumun di depan sebuah kamar. Kenapa ramai begini? Aku melihat Ipung bersandar di dinding dengan tangan dilipat di depan dada. Disebelah nya ada Adit yang langsung menyenggol Ipung begitu dia melihat ku. Ipung menoleh kearah ku dengan wajah lusuh. Ada apa ini?
“Nathan mana?” aku tidak mempedulikan tatapan tetangga-tetangga ku karna suara ku yang keras. Ipung memberi isarat agar aku melihat kedalam. Aku menarik napas panjang. Kenapa dada ku sesak begini?
Orang-orang berkerumun di tepi kasur Nathan sehingga menghalangi pandangan ku. Aku mencoba mencari celah untuk melihat wajah Nathan. Om Agung, tetangga ku yang melihat ku datang langsung tersenyum dan memberiku ruang untuk melihat Nathan. Dan saat aku melihat Nathan, napas ku menjadi semakin sesak. Ini bukan Nathan. Nathan tidak pucat seperti ini. Dia selalu tersenyum. Dan apa itu? Kenapa ada selang di mulut nya? Lalu kenapa suster itu terus menekan-nekan pompa pernapasan ke mulut Nathan. Hei, hei. Hentikan. Nathan bisa tersedak.
Seseorang memegangi pundak ku saat aku merasa tubuh ku bergetar hebat. Aku menoleh kebelakang dan mendapati Adit tersenyum pahit. Aku melemparkan pandangan bertanya ku padanya. Tapi dia hanya diam saja. Aku melirik seorang gadis yang duduk di sebelah Nathan sambil menggengam tangan nya. Aku pernah lihat gadis itu. Dia Via. Nathan beberapa kali memperlihatkan foto nya pada ku. Gadis itu hanya diam, tapi air mata nya terus mengalir.
“Than, bangun. Lihat, temen-temen mu datang menjenguk,” suara lirih itu milik Tante Sari, Ibu Nathan. Aku tak kuasa menahan air mata ku. Adit menuntun ku keluar kamar. Di sana aku menangis sesenggukan. Diam-diam aku mendengar pembicaraan Om Maman, ayah Nathan dengan Bapak ku.
“Sebenarnya Nathan sakit apa, Pak?” kata Bapak pelan. Aku memasang kuping baik-baik. Supaya tidak ketara aku menunduk di bahu Adit.
“Hei, awas ngeces,” bisik Adit pada ku. Dia ini tidak bisa di ajak kompromi. Aku langsung mencubit perutnya agar diam. Dia cuma mengaduh sambil mengusap-usap perutnya yang agak buncit.
“Sebenarnya dulu Nathan itu sering pusing-pusing. Saya pikir cuma pusing biasa karna anak kecil suka susah makan. Tapi karna terlalu sering, akhirnya saya membawa dia ke rumah sakit. Ternyata dokter memvonis pembuluh darah di otak Nathan tipis. Sehingga dia sering pusing. Lalu dokter mengatakan sebuah vonis yang sangat mengejutkan. Nathan hanya bisa bertahan hidup sampai umur 18 tahun. Saya tidak berani memberi tau istri saya. Saya pikir setelah Nathan melewati ulang tahun ke-18 nya. Saya bisa tenang dan menganggap vonis dokter itu salah. Tapi ternyata hari ini terjadi,” kata Om Maman lesu. Aku terisak lagi. Adit makin bingung. Tapi dia hanya mengusap-usap punggung ku saja. Jadi apa maksud nya Nathan akan… tidak. Ini tidak boleh terjadi. Nathan ga boleh kemana-mana.
“Dan sekarang pembuluh darah itu pecah, yang mengakibatkan Nathan terserang stroke. Saya berdoa saja supaya ada keajaiban,” Om Maman tersenyum sendu. Aku tidak kuat melihat semua ini. Setelah menengok Nathan sekali lagi, aku langsung mengajak Bapak pulang. Perut ku sudah mulai mulas berada di rumah sakit terlalu lama. Aku tidak langsung pulang, tapi ke rumah Adel dulu. Aku heran kenapa dia tidak ke rumah sakit tadi. Begitu Adel keluar membukakan pintu, dia langsung menangis sambil memelukku.
“Kenapa kamu ga dateng jenguk Nathan?” aku menuntun nya ke ruang tamu.
“Aku takut. Aku takut ngelihat wajah kak Nathan. Aku.. aku..,” Adel menggigit bibir menahan tangis. Aku memeluknya lagi. Aku menyibakkan sedikit gorden melihat Pak Dirman tetangga sebelah ngorol dengan Pak Dar. Aku mendengar nama Nathan disebut-sebut. Diam-diam aku menguping.
“Nathan kena stroke ya?” itu suara pak Dirman.
“Iya. Masih muda ternyata bisa terserang Stroke juga ya? Malah katanya nyawa nya itu tergantung alat bantu pernapasan. Kalau alat bantu itu di lepas 5 menit saja, wah, bisa melayang nyawa nya,”
Kata-kata Pak Dar membuat air mata ku mengalir lagi. Aku merasakan getaran di bahu Adel bertambah keras. Dia pasti juga mendengar nya. Aku diam saja. Memberikan waktu pada Adel untuk meluapkan kesedihannya.
“Kalau yang saya dengar tinggal menunggu waktu nya saja,” tambah Pak Dirman. Sudah cukup. Aku tidak mau dengar lagi. Aku menutup gorden dan segera pamit pulang pada Adel. Dia masih sesenggukan ketika ku tinggal.
Malam nya aku tidak bisa tidur nyenyak, mata ku terpejam, tapi aku tidak tidur. Ipung minta ijin menginap di rumah sakit untuk menunggui Nathan. Adit juga. Aku dan Adel tidak ikut. Aku tidak kuat lama-lama berada di rumah sakit. Kalau Adel tentu saja karna tidak diijinkan ibunya. Aku hampir membanting piring ketika Mama berkata memberikan ijin Ipung menginap dengan alasan mungkin Ipung berfirasat tidak akan bertemu lagi dengan Nathan. Aku tidak terima.
Sampai jam 1 malam aku belum juga tidur. Aku terus membolak-balik posisi tidur ku. Aku segera pasang kuping ketika telepon diruang tengah berdering. Itu pasti Ipung. Memangnya siapa yang mau telepon ke rumah orang tengah malam begini. Kecuali orang gila.
Mama mengangkat telepon. “Halo, Assalamualaikum. Ya Pung?” nah benar kan? Aku merubah posisi ku agar lebih nyaman. Mama terdiam lama.
“Innalillahi….,”
Tidak.
Nathan tidak boleh pergi. Nathan masih punya banyak janji yang belum dia penuhi. Dia belum mengenalkan ku pada Via, dia belum mengajakku ke kampus baru nya di bukit, dia belum mengembalikan mainan kaca ku, dia….
Aku tidak kuat lagi. Aku menutup wajah sambil menangis sesenggukan. Mama sadar aku tidak tertidur. Tapi dia hanya membiarkanku. Aku bangun dan membuka mata ku yang penuh air mata. Berusaha menghentikan tangisan ku. Tapi entah kenapa di dalam kepala ku berkelebat seluruh kenangan-kenangan yang pernah terjadi dengan Nathan. aku ingat dulu dia pernah bilang kalau dia bisa melihat suatu penyakit dalam diri seseorang. Saat itu aku minta ia untuk melihat penyakit apa yang ada dalam diriku. Tapi dia hanya menjawab, “Apa kamu udah siap kalau seandainya kamu punya penyakit parah yang akut? Yakin kamu tidak akan langsung bunuh diri mendengar nya?” setelah itu aku tidak pernah mau di tebak penyakit nya. Nathan juga yang selalu mengajarkan kita untuk puasa Senin-Kamis bersama. Entah kalau tidak ada dia, apa Adit bisa puasa sekaligus berdiet? Siapa lagi yang akan melarang nya makan-makanan yang bisa menambah lemak nya? Padahal, Adit baru saja membangun kamar baru untuk mereka tempati bertiga. Kamar pribadi nya sekaligus markas mereka.
“Mbak Ajeng,..”
Aku menoleh kebelakang dan mendapati Adel sedang berdiri sambil menahan tangis nya. Aku bangkit dan berhambur memeluknya. Kami menangis haru bersama. Kami tidak bicara apapun dan tenggelam dalam pikiran masing-masing. Aku menghapus air mataku sejenak. Menatap langit-langit seolah ada Nathan disana. Detik berikutnya air mataku mengalir lagi. Demi Tuhan, kalau waktu bisa di putar kembali, aku ingin memberikan lebih banyak kenangan manis untuk Nathan.
“Good bye Nathan…” lirih ku.
Pengikut
Arsip Blog
-
▼
2009
(48)
-
▼
Juni
(14)
- aku salah ga ya?
- Dear dairy-Mocca
- cerpen quw . .
- good bye Nathan . .
- apa sih sebenernya kata 'sayang' itu?
- mancing, mancing, mancing!
- kesel sekesel-keselnya. .
- aku mau cerita tentang sahabat-sahabat qu,
- aku phobia rumah sakit T_T
- ngomongin Manohara yuuk. .
- sakit perut
- FB di haramkan??
- dilema nih,
- kacaaauu balaauu!!
-
▼
Juni
(14)
Mengenai Saya
- ajeng ajah.
- Denpasar, Bali, Indonesia
- novelis beken n best seller. ada yang mau protes??