Jumat, 19 Juni 2009
cerpen quw . .
Leher ku sudah mulai keram. Dari tadi aku terus memperhatikan cowok di kelas seberang. Entah kenapa aku baru sadar ada cowok se-cute itu di sekolah ini. Padahal sudah dua tahun lebih aku sekolah di sini. Dulu memang pernah sih aku ngeliat dia. Tapi cuma sekilas. Karena ku pikir dia kelas tiga. Jadi ku pikir dia pasti udah lulus saat aku naik kelas dua. Tapi ternyata…oh…terima kasih Tuhan aku dipertemukan oleh nya.
Aku segera menundukkan kepalaku saat dia menoleh padaku. Aku menggigit bibirku dengan gemas. Mudah-mudahan dia ga sadar kalau dari tadi aku memperhatikannya. Aku menunggu beberapa saat. Mungkin kalau ku dongakkan kepalaku sekarang, dia sudah ga melihat kearahku lagi. Pelan-pelan kudongakkan kepalaku sambil melirik kearahnya.
Uppss…
Dia melihatku! Dia masih memandangku saat ini! Aku segera menetralkan sikap dan jantungku. Sebenarnya ini ga boleh terjadi. Kalian tau kenapa? Karena aku sudah punya seorang cowok. Pacar maksudku. Dan rumahnya dekat dengan sekolah. Bukankah itu kesalahan yang fatal? Aku tau itu. Tapi aku ga bisa menahan perasaan ku. Aku juga ga bisa memutuskan hubungan ku dengannya. Karna ini semua salah ku.
Ini kedua kalinya aku berpacaran dengannya. Dulu sempat putus. Kemudian kami balik lagi. Sebelum itu, aku beberapa kali minta putus dari nya, tapi dia sama sekali ga mau melepaskanku. Setelah bersusah payah, akhirnya dia mau juga. Tapi disini letak kebodohanku. Saat dia mengajakku ‘balik’, aku malah menerimanya kembali. Huwaa…kupikir saat itu aku masih sayang padanya. Tapi ternyata tidak. Apa lagi setelah bertemu Surya. Cowok cute tadi. Jadi mau ga mau, aku yang akan menunggunya minta putus. Jadi apa aku salah??
Ngomong-ngomong soal Surya, aku rasa dia belum menyadari keberadaanku. Karena kelas kami beda. Kelas nya berada diseberang kelas ku. Jadi setiap pelajaran aku bisa mencuri pandang padanya. Dan beberapa kali aku kepergok guru sedang menoleh keluar kelas. Dan untung saja jika guru menghukumku dengan memberikan soal , aku bisa menjawab. Bagaimana tidak? Hei, hei. Aku bintang di kelas ini.
“Liat apa sih?” leherku hampir patah mendengar bisikan Fitri teman sebangku ku. Aku gagu sebentar. Bingung harus menjawab apa. Memang, tidak ada yang tau soal perasaan ku pada Surya.
“Ga liat apa-apa. Cuma males aja dengerin guru nyebelin itu ceramah,” sahutku ngeles. Aku melirik Bu Supriati yang sibuk ceramah soal kedisiplinan. Ceramah ini sudah sangat ku hafal. Karena setiap Sabtu pagi dia selalu mengawali belajar dengan ceramah yang sama sampai kita bosan. Cepat-cepat ku alihkan perhatian pada buku agar Fitri tidak bertanya lagi.
Oh, oh. Aku tidak bisa makan. Kalian tau kenapa? Karena di depanku ada SURYA. Surya yang cute abis itu! Aku menggigiti sedotanku sampai gepeng. Aku gemas sekali melihatnya. Duh, ngidam apa sih ibunya waktu hamil dia? Kenapa bisa punya anak se-cute dia?
Tiba-tiba aku merasa kepalaku ditepuk seseorang sampai sedotan yang ku gigiti menyodok pangkal tenggorokanku. Aku tersedak dan batuk habis-habisan. Ku toleh ke belakang, Teman sekelasku, Andi, cekikikan melihatku. Ku kepalkan tangan kearahnya masih sambil terbatuk-batuk. Rara, sahabatku, mengelus-elus punggungku sambil memaki Andi. Dan aku baru teringat! Di depanku ada Surya! Ya ampun. Aku pasti tampak bodoh sekali tadi. Aku merasa wajahku mulai memanas. Aku coba mendongakkan kepalaku dan mendapatinya sedang tersenyum melihatku! Dia tersenyum! Hei, dunia! Cowok cute bernama Surya tersenyum padaku! Wajahku bertambah panas. Entah karena kebodohanku atau karna apapun, terserah. Yang jelas aku bisa melihat senyumnya! Huwa…
“Anya, ngaku deh,” kata Rara tiba-tiba. Aku yang sedang merapikan baju di kamar mandi menoleh heran.
“Ngaku apa?” kata ku sambil tetap sibuk memasukkan baju ke dalam rok.
“Kamu lagi naksir cowok kan?” tembak Rara langsung tanpa ampun. Aku nyaris tersedak kata-kata. Cepat tanggap juga nih anak. Aku memilih kata-kata yang pas untuk menjawab pertanyaannya.
“Jangan ngeles deh,” katanya lagi membuatku cengar-cengir tengil.
“Kok tau sih, Ra?” Nyerah deh.
“Ya ampun. Kita ini sahabat bukan sih? Jelaslah aku tau. Kita kan selalu bareng-bareng. Ga care namanya, kalau sampai aku ga tau,” kata nya membuatku terharu.
“Duh, kamu emang sahabat yang baik deh.” Kata ku melankolis. “Tapi jangan bilang sama Fitri dan Vivi dulu ya. Aku masih belum siap bilang ke mereka.” Pinta ku melas.
“Iya, tenang aja. Lagian aku udah tau kok siapa cowok yang kamu suka,”
Jleger!! Aku mendelik heran. Dia sahabat atau peramal sih? Eh, tapi bisa aja kan kalau tebakannya salah. Aku mengendikkan dagu seolah bertanya siapa orangnya.
“Surya anak 3-3,” aku mendelik. “Bener kan?”
“Kok tau lagi?” aku tertawa heran. Rara menepuk dada bangga. Aku mencibir. Tapi ku akui dia ini perhatian banget sama sahabatnya.
“Aku perhatiin lagi, kamu tiap hari nengok ke kelas sebelah. Bangkumu kan sejajar dengan bangkunya Surya. Terus tadi di kantin kamu salah tingkah gitu. Dan dia juga terus ngeliatin kamu tadi,”
Aku mendongak, tertarik dengan kalimat terakhirnya. “Serius kamu? Dia ngeliatin aku? Kamu ga salah orang? Mungkin dia ngeliatin orang di belakangku?”
“Bener. Masa sih aku bisa salah liat. Memang nya kenapa kalau dia ngeliatin kamu? Aneh?” Rara mengajakku keluar kamar mandi. Kita udah terlalu lama di dalam.
“Ya, kamu tau kan. Dia itu cute banget, ganteng banget, baik banget, dan cool banget. Masa sih dia bisa ngelirik aku yang biasa-biasa gini?” Duh, padahal aku cuma niat ngerendah. Tapi kenapa aku jadi gelisah juga ya? Yang barusan aku omongin memang ada benarnya. Aku jadi minder beneran. Cewek cantik yang ngantri jadi pacarnya pasti banyak deh.
“Ya ampun. Kenapa enggak? Kamu tuh popular lagi di sekolah. Kita tepatnya. Dia ga mungkin ga kenal kamu. Dan memang nya kamu jelek? Ga kan? Menurutku kamu manis,” kata Rara sedikit mencibir. Baru kali ini dia terang-terangan memujiku. Aku langsung malu. Begitu melihat wajahku memerah, Rara segera menjitakku. Wajahku bertambah merah ketika aku melihat seseorang yang sedang kami bicarakan berada dalam jarak beberapa meter di depan kami. Ya, Surya sedang berjalan berlawanan arah dengan kami. Rara langsung menyikut lenganku yang segera ku balas.
Oh Tuhan. Tubuhku kenapa kaku begini? Otot bibir ku terasa lemas. Aku tidak bisa tersenyum manis. Duh, duh. Kenapa jalanku jadi aneh? Kok rasanya kakiku ga menapak di tanah ya? Sekilas ku lirik telapak kakiku, memastikan kakiku masih menapak di tanah. Dan begitu aku mendongak, Surya tepat berada di depanku. Dari ujung mata, aku meliriknya sampai benar-benar tidak kelihatan lagi. Setelah itu, semua otot-otot di tubuhku kembali normal. Sial! Kenapa tadi? Aku mati gaya di depan Surya! Dan saat aku melihat ke depan, Rara sudah jauh berada di depan, dia tertawa ngakak melihatku. Aku tersenyum kikuk. Duuh..
Aku duduk bersila menunggu jemputan datang. Kenapa lama sekali? Aku melihat hape lagi. Udah lewat 20 menit dari jam pulang sekolah. Duh, untung aja hari ini lumayan banyak yang masih belum dijemput. Dan jantungku nyaris melompat keluar ketika menyadari seorang cowok berdiri di sebelahku bersandar tembok. Siapa lagi kalau bukan Surya. Aku langsung salah tingkah. Aku pasti terlihat seperti anak SD yang melas karna belum dijemput orang tuanya. Tiba-tiba Fitri keluar gerbang sambil celingukan. Aku segera memanggilnya.
“Belum dijemput juga?” Tanyanya dan mengambil tempat di antara aku dan Surya. Nih anak ga tanggep bener sih? Sempat-sempat nya aku melirik Surya.
“Ehm, belum. Mau nganterin?” kataku agak sedikit keras berharap Surya mendengarnya dan berinisiatif mengatarkanku pulang. Ya ampun!
Fitri ketawa geli. “Nganter pakai apa? Pakai angkot mau?” Aku ikut tertawa. Benar juga. Fitri kan pulang naik angkot.
“Maunya aku telepon ke rumah. Tapi pulsaku habis nih,” Wajahku kok jadi melas gini sih? Fitri celingukan.
“Mau aku cariin pinjeman hape ga?” Tanya nya. Belum sempat aku menjawab dia keburu berdiri dan gilanya dia menghampiri siapa? Benar. Dia menghampiri Surya yang asik sms-an. Dan dengan wajah tololnya Fitri mengatakan kalau teman nya-yaitu aku-sedang butuh pinjaman hape untuk menelepon minta jemput. Dan gilanya, Surya langsung saja mengiyakan. Aku langsung terpesona. Aku anggap perbuatannya itu sungguh mulia. Bahkan kalau dia hanya memungut sampah pun, aku akan menganggapnya perbuatan mulia.
“Nih pake,” kata Fitri menyodorkan hape Surya. Aku menatap hape dan Surya bergantian. Surya sama sekali tidak memperhatikan hapenya akan dipakai siapa. Dia malah sibuk mengaduk-aduk tas. Hallo Surya? Aku disini! Aku yang akan meminjam hapemu! Tapi Surya tetap tidak menoleh.
Aku langsung menolak tawaran Fitri dengan alasan tidak enak dengan Surya. Tapi Fitri memaksa. Untung saja tidak lama setelah itu, jemputanku datang. Akhir nya mau ga mau Fitri nyerah juga. Aku langsung pulang saja. Surya tak ku hiraukan.
Sebal juga ingat kejadian tadi. Padahal aku ada di sebelah Surya. Tapi kenapa dia tidak menoleh sama sekali. Padahal kata Rara waktu di kantin dia memperhatikanku. Apa itu cuma perasaan Rara saja. Jangan-jangan benar dia hanya melihat orang yang ada di belakangku. Lalu Rara mengira Surya memperhatikanku. Duuh, aku mikir apa sih? Surya jelas-jelas tidak bersalah. Dia hanya sedang mengaduk-aduk tasnya. Apa salahnya? Mungkin dia memang tidak melihatku. Tapi masa sih?
Hapeku bergetar. Aku meraihnya malas-malasan. Siapa sih yang sms siang-siang begini. Jam orang tidur. Aku mendengus. Pacarku. Aduh, ini satu lagi. Aku masih bingung. Dia terlalu baik untukku. Terlalu sabar. Terlalu perhatian dan serba terlalu yang lainnya. Tapi apa yang ku lakukan. Kalau sampai dia tau pacar tersayangnya yang dijaga seperti guci cina ini menyukai orang lain, mungkin aku akan langsung dilempar dari atas gedung bertingkat. Tidak, tidak. Dia terlalu baik untuk melakukan itu semua. Bagaimana ini, aku harus memutuskan sesuatu. Aku harus memilih antara Surya dan pacarku. Kalau aku memilih pacarku, tapi… aku udah terlanjur naksir berat sama Surya. Tapi kalau aku memilih Surya, aku tidak tega menyakiti cowok baik ini. Apa lagi belum tentu Surya juga suka padaku.
Sudah kuputuskan. Aku akan melupakan Surya. Aku akan mencoba kembali pada pacarku. Aku harus konsen. Jangan menoleh lagi kekelas sebelah. Aku menarik napas panjang… sekali. Lalu menghembuskannya perlahan. Aku mengulanginya beberapa kali. Lumayan. Aku sudah tenang.
“…”
“Kamu kenapa, Nya?” bisik Fitri sambil menyodorkan buku pura-pura bertanya.
Aku menuliskan sesuatu di bukunya seolah memberi jawaban. “Kenapa apa?”
Fitri mengangguk-angguk ngerti. “Kamu dari tadi kayak nahan kentut tau ga? Muka mu itu lho,” aku menoleh pada Fitri yang sekarang sedang meniru wajahku. Aku nyaris ketawa. Masa sih wajahku seperti itu? Dan saat aku sedang menahan tawa, mataku tiba-tiba bertumbukan dengan cowok kelas sebelah yang selalu ku perhatikan. Aku mengutuki diriku sendiri. Kenapa refleks kepalaku selalu menoleh kearah sana? Apa Surya sudah lama memperhatikanku? Apa tadi aku melakukan sesuatu yang bodoh. Dan, oh ya ampun. Tadi Fitri bilang aku seperti sedang menahan kentut. Apa Surya melihatnya?
Aku terperanjat ketika Fitri menyenggolku. Aku langsung menyuruhnya diam. Aku melayangkan padangan bertanyaku padanya. Dia malah memberi isarat untuk melihat kelas seberang. Dan Surya masih memperhatikan ku-atau kami aku tak tau. Surya mengalihkan tatapannya. Aku pura-pura bertanya ada apa pada Fitri.
“Cowok itu selalu ngeliatin kamu tau ga?” bisiknya nyaris membuat jantungku jejingkrakan.
Aku menetralkan sikap. “Oh ya?”
“Oh ya? Oh ya?” Fitri mencibir. “Udah deh ngaku aja. Kamu juga suka ngeliatin cowok itu kan? Aku sering mergokin kamu lagi ngeliatin cowok itu kok,”
Aku hampir berteriak saking kaget nya. Ternyata kelakuanku begitu kentara. Aku cuma senyum-senyum malu. Tapi bagi Fitri itu sudah merupakan jawaban iya. Aku menoleh lagi ke samping belum sempat aku melihat wajah cute Surya, aku dan Fitri berteriak kaget karena tiba-tiba sebuah penghapus papan tulis mendarat di meja kami.
“Kalau kalian mau pindah ke kelas sebelah, pindah saja sana!” kata Bu Sanimah sangar. Aku dan Fitri menunduk dalam-dalam. Lewat sudut mata kami saling menyalahkan.
“Mbak, pop ice vanilla blue satu ya,” kataku pada Mbak Ririn, penjaga kantin. Aku membungkuk membenarkan tali sepatuku yang kendor. Tiba-tiba dari belakang seseorang mengetuk punggungku. Aku yang masih membungkuk menoleh malas-malasan lewat celah tangan ku. Dan seseorang itu adalah Surya! Aku mematung sebentar.
“Bisa geser? Aku mau lewat,” katanya lembut.
Refleks aku bediri tegak dan tepat saat itu juga, kepalaku terbentur nampan yang sedang dibawa Mbak Ririn. Aku mengaduh kesakitan. Surya hanya tertawa pelan. Rasa sakitnya itu sih ga seberapa, tapi malunya dibawa sampai mati! Kenapa sih aku selalu terlihat bodoh di depan Surya?
“Duh, Nya. Pelan-pelan dong. Untung aku ga bawa apa-apa di atas nampan nya,” kata Mbak Ririn sambil mengelus kepalaku.
“Iya mbak, maaf. Ga sengaja.” Aku berlalu dari sana. Malu.
“Anya!”
Aku berhenti. Itu suara Surya! Surya memanggilku. Aku-senang-sekali. Dia tau namaku. Jangan-jangan dia mau mengajakku kenalan. Atau mungkin dia mau minta maaf. Bunga-bunga di hatiku langsung mekar semua. Aku menoleh dan memasang senyum termanisku.
“Ya?”
“Kamu belum ambil pesenanmu nih,” katanya menunjuk pop ice yang dibawa Mbak Ririn dan membuat bunga-bunga ku bubar jalan. Ya ampun!
Tiba-tiba hapeku bergetar. Aku mendengus. Dari Rian, pacarku. Aku menimbang-nimbang. Angkat. Tidak. Angkat. Tidak. Tidak angkat. Benar tidak usah diangkat saja. Aku mengambil pop ice ku dan segera berlalu. Kalau melihat Surya saat teringat Rian, aku jadi merasa bersalah pada cowok baik seperti Rian. Dia tidak pantas ku perlakukan seperti ini. Kenapa aku plin-plan sekali. Bukankah aku sudah memutuskan akan setia pada Rian? Tapi kenapa aku terus berharap pada Surya? Anya, hentikan semua ini. Kamu harus fokus. Fokus. Fokus…
“Hei!”
“Eh, Fokus!” kata ku kaget. Aku berbalik dan berniat menyembur siapa pun yang mengagetkanku. Kecuali dia…..Surya. Aku memutar tubuhku ke depan lalu berbalik lagi. Masih Surya. Benar. Ini Surya. Ya ampun. Kenapa dia selalu muncul di saat aku ingin melupakannya. Kamu menyiksaku, tau tidak?
“Sori. Kaget ya?” katanya lembut. Kenapa kamu bicara lembut sekali? Aku jadi seperti melayang-layang di…
“Anya,” Surya menggoyangkan bahuku. Aku langsung menoleh pada tangannya yang menempel di bahuku. Surya menyentuh bahuku! Dan rasanya seperti obat bius yang melumpuhkan bahuku. Oke cukup. Aku rasa, aku mulai gila.
“Eh, sori. “ katanya salah paham sambil melepaskan tangannya dari bahuku. Aku hampir tergoda untuk mengatakan, “Jangan lepaskan.”
“Ada apa?’ Tanyaku cepat. Aku takut lama-lama ada dalam jarak kurang dari dua meter darinya akan membuatku terkena serangan jantung. Dia senyum-senyum membuatku makin penasaran dan makin cinta. Rasanya aku benar-benar gila.
“Cuma pengen ngobrol aja. Boleh kan?” Belum sempat aku mengiyakan, Surya berjalan menduluiku. “Kamu biasa nunggu didepan sana kan? Kita duduk disana aja gimana?” Dia berbalik dan tersenyum lagi.
Aku mengangguk cepat. “Ehm,” Semoga dia tidak menganggapku norak. “Terserah,” Aku balas tersenyum berusaha biasa saja. Aku baru akan melangkahkan langkah bahagiaku ketika Vivi memanggilku.
“Anya!” Aku menoleh dan langsung gugup. Aku belum bilang apa-apa padanya. Aku segera berbisik pada Surya agar dia duluan saja dan aku pasti-tidak mungkin tidak-akan menyusulnya.
“Apa?” aku berusaha biasa saja.
Vivi berkacak pinggang. “Kenapa kamu ga cerita sama aku? Kamu mau bohongin aku ya?”
Aku memutar bola mata mencari alasan. “Bilang apa Vi?”
“Bilang kalau kamu lagi deket sama Surya. Rian itu kan temenku. Kamu kok tega sih sama dia?” Vivi menampakkan wajah seolah aku adalah seorang penjahat.
Entah kenapa dalam hatiku terselip rasa bersalah pada Rian. “Aku.. bukannya aku ga mau bilang. Tapi belum aja Vi. Kamu juga bakal aku kasih tau kok. Dan aku juga ga bermaksud bohongin Rian. Aku cuma belum bisa ngontrol perasaan ku.”
“Tapi sama aja kan. Intinya sekarang kamu lagi ngebohongin dia. Kebayang ga sih kalau Rian sampai tau semua ini. Dia tiap hari cerita sama aku soal kelakuanmu yang makin aneh dan menjauh dari dia. Wajah nya tuh sedih banget. Aku ga tega ngeliat dia. Masa kamu tega sama Rian?” Vivi menggelengkan kepalanya tidak percaya. Baru aku akan membela diri lagi. Vivi langsung berbalik dan pergi meninggalkanku. Aku cuma bisa mendesah pasrah. Nanti toh dia akan mengerti.
“Sori lama,” kataku pada Surya yang sudah duduk manis di tempat biasa aku menunggu. Diam-diam aku senang juga dia ternyata memperhatikanku. Sebenarnya duduk disini sangat nekat menurutku. Karna tau kan? Rian itu rumahnya berada di sekitar sini. Bisa saja dia tiba-tiba lewat dan melihatku duduk berduaan dengan Surya. Tapi aku tau. Jam segini Rian sedang jam sekolah.
Setelah itu aku ngobrol asik dengan Surya. Ternyata dia juga udah lama mergokin aku selalu melihat kearahnya. Dia ingin menyapa tapi belum berani. Karna katanya aku selalu dikerubungi teman-temanku. Saat dia berkata begitu rasanya ubun-ubunku meletus saking senangnya. Lalu dia juga bilang aku ini cewek pintar. Dan segala pujian-pujian lainnya yang membuat asap mengepul dari ubun-ubunku. Aku-senang-sekali. Hei, aku ini cewek pintar lho! Tapi roda memang terus berputar. Saat aku sedang asik-asiknya bercerita tentang cerita lucu, seseorang yang-saat ini-sangat tidak ingin aku temui muncul di depanku dengan wajah lesu.
“Ternyata ini penyebabnya,” Aku mendongak kearah suara itu. Aku diam. Rian hanya menatapku dengan matanya yang sendu. Dan itu membuat hatiku terasa sakit. Aku bangkit dan balas menatapnya. Melihat matanya yang begitu sedih aku jadi sadar kalau aku memang jahat. Aku ini seorang penjahat. Bahkan kalau dia memututskanku saat ini juga aku terima. Aku memang pantas…
“Kenapa kamu ga jujur saja? Aku lebih baik tau dari kamu dari pada harus melihat langsung. Kamu tau gimana perasaanku?” Rian menyentuh dadanya dan menekan-nekannya. “Sakit,”
Surya bangkit dan menatap aku dan Rian bergantian. Aku tau dia pasti tidak mengerti. “Sori, kamu siapa?” Tanya Surya yang makin membuatku kacau.
Gawat. Gawat. Gawat. “Aku pacarnya, mungkin.” Katanya sambil menatapku. Aku merasa sangaaat bersalah. Aku melirik Surya yang terkejut. Tapi dia berusaha menyembunyikannya. Surya menatapku dingin. Aku cuma bisa diam.
“Oh. Iya.” Katnaya setengah kaku. Setelah berkata begitu Surya langsung melewatiku begitu saja. Tanpa memandangku. Surya sudah menguap dan sekarang aku tinggal menunggu vonis dari Rian. Dan aku tidak akan mendapatkan apa-apa. Rian diam saja sambil menatapku. Aku tidak berani membalas tatapannya. Dia begitu baik padaku. Dan aku begitu jahat padanya.
“Rian…,”
“Sekarang semua terserah kamu,” aku tersentak mendengar kata-katanya, bahkan saat aku sudah menghianatinya dia masih bisa mempertahankanku. Aku sungguh jahat. “Kalau kamu berharap aku yang akan mutusin kamu,” Rian tersenyum sinis. “Mungkin ga bisa. Jadi silakan kamu yang mutusin semua nya.”
Kata-kata Rian membuatku terharu. Cowok baik seperti dia sangat sial mendapatkan cewek seperti aku. Air mata ku menitik. Rasanya kata-kata putus sudah ada di tenggorokanku. Tapi aku tidak sanggup mengatakannya. Dadaku sesak. Entah kenapa tiba-tiba aku merasa sangat kesepian membayangkan tidak ada Rian. Entah kenapa aku merasa ada yang hilang. Aku menatap Rian yang masih terus menunggu kata-kata yang keluar dari mulutku. Aku tidak bisa merelakan mata itu untuk gadis lain. Melihatku hanya diam saja, Rian berbalik dan berjalan meninggalkan ku. Tidak. Aku tidak bisa.
“Riaaan!!” Aku berteriak sambil berlari kearahnya. Saat Rian berbalik, aku langsung berhambur kepelukannya. Aku tidak peduli orang-orang melihatku dan mengatakan aku sedang bermain film India atau apapun. Yang penting aku tidak mau kehilangan Rian lagi. Aku tidak peduli apa tanggapannya. Memang, sesuatu baru terasa begitu berharga ketika kita kehilangannya. Dia memelukku erat. Aku bahagia. Sangat bahagia. Jangan mengejekku. Kalau kamu ada di posisiku saat ini, kamu pasti mengerti.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Pengikut
Arsip Blog
-
▼
2009
(48)
-
▼
Juni
(14)
- aku salah ga ya?
- Dear dairy-Mocca
- cerpen quw . .
- good bye Nathan . .
- apa sih sebenernya kata 'sayang' itu?
- mancing, mancing, mancing!
- kesel sekesel-keselnya. .
- aku mau cerita tentang sahabat-sahabat qu,
- aku phobia rumah sakit T_T
- ngomongin Manohara yuuk. .
- sakit perut
- FB di haramkan??
- dilema nih,
- kacaaauu balaauu!!
-
▼
Juni
(14)
Mengenai Saya
- ajeng ajah.
- Denpasar, Bali, Indonesia
- novelis beken n best seller. ada yang mau protes??
Tidak ada komentar:
Posting Komentar