Aku duduk sendirian sambil celingak-celinguk. Untuk kesekian kali nya aku melihat jam. Setengah 4 sore. Aku mendengus kesal. Kata mereka harus berada di depan Mirota Kampus jam setengah 3. Ini sih sudah lewat satu jam dari waktu yang di tentukan. Aku memperhatikan barang bawaan ku. Dua kardus, dua tas tangan, dan satu tas travel. Untuk ukuran bawaan satu orang, ini memang agak kelawatan. Habis mau bagaimana lagi, orang-orang rumah banyak titipannya.
Aku segera berdiri ketika melihat sebuah bis malam berwarna ungu melintas di depan ku. Akhirnya datang juga. Lho, lho. Kok berhenti nya jauh sekali? Ya ampun, aku harus membawa barang segini banyak sendirian ke
Dua tas tangan aku sampirkan di bahu kiri dan kanan, tas travel dan satu kardus yang lebih ringan kubawa dengan satu tangan. Kardus yang lebih berat kubawa dengan satu tangan. Duh, orang-orang memperhatikan ku. Aku merasa lebih mirip kuli panggul dari pada penumpang.
“Sini mbak, saya bantu,” kata kondektur bis itu begitu aku sampai disana.
Aku mencibir. “Kalau mau bantu dari
Aku tersenyum dan mengangguk ketika ibu itu menatapku. Berharap supaya dia merasa sedang menduduki kursi ku. Tapi dia malah balas tersenyum kemudian menatap kedepan. Aku mendengus. Aku duduk di sebelah nya. Siapa tau sebenarnya kursi nya yang ku duduki ini, jadi dia akan sadar kalau dia salah kursi.
“Ehem,” aku bedeham sambil melirik nya. Dia masih asik memperhatikan jalan. Ibu ini kayak nya pura-pura tidak tau deh. Ya sudah lah. Relakan saja. Sebenarnya aku lebih suka duduk didekat jendela, karena bisa tidur bersandar di jendela. Lagipula aku tidak akan terganggu kalau ada orang mau keluar masuk. Aku tidak suka tidur ku di ganggu. Dan kursi itu sudah sengaja ku pesan sebulan yang lalu agar tidak kehabisan.
Aku mengambil posisi nyaman untuk tidur. Semoga saja ibu ini tidak rewel dan mengajakku bicara. Aku paling tidak bisa tidak tidur didalam bis. Tiba-tiba aku mencium sesuatu. Hm, hm. Bau ini. Bau yang sangat ku benci. Minyak telon. Aku membuka mata dan melirik ke sebelah. Dan benar saja, ibu itu sedang menggosokan minyak ke sekitar dahi dan leher nya. Duh, ini yang aku takutkan kalau duduk dengan ibu-ibu tua. Bau nya khas bikin mulas.
“Mau gek?” kata nya sambil menyodorkan minyak itu.
Aku berkerut. “Tidak. Terima kasih.” Aku kembali memejamkan mata. Tahan saja, batinku. Baru aku menikmati detik-detik nyaman akan tertidur, ibu disebelahku bersuara lagi.
“Mau kemana gek?”
Mata ku masih terpejam. Di bicara pada ku? Kalau iya, aku pura-pura tidak dengar saja deh. Anggap saja aku sudah tidur. Tiba-tiba aku merasa lenganku disenggol. Sabar. Aku membuka mata dan tersenyum. Dia mengulangi pertanyaan nya.
“Saya ke Denpasar, Ibu kemana?” Tanya ku basa-basi.
“Tabanan,” aku mengangguk dan tersenyum. Dalam hati aku bersyukur dia akan turun lebih dulu nanti. Aku berpura-pura menguap lalu mengambil posisi tidur lagi. Berharap dia mengerti kalau aku tidak mau di ganggu. Tiba-tiba ibu itu bersendawa keras sekali. Dia tertawa sendiri. Mungkin menertawakan dirinya yang tidak bisa mengontrol sikap. Aku pura-pura tidak dengar saja. Aku
Dan ternyata perjalanan kali ini tidak seperti yang kuharapkan. Sepanjang perjalanan ibu itu terus mengoceh dengan logat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar